Pacu Produksi Migas, Pemerintah Tawarkan Perubahan Bagi Hasil
Pemerintah terus berupaya meningkatkan produksi minyak dan gas bumi (migas) di tengah harga minyak dunia yang masih rendah saat ini. Upaya yang akan dilakukan adalah dengan memberikan beberapa insentif bagi kontraktor migas.
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto mengatakan salah satu insentif yang akan ditawarkan adalah perubahan persentase bagi hasil. Kontraktor bisa mendapatkan bagi hasil hingga 49 persen, dari yang sebelumnya maksimal hanya 30 persen. (Baca: Boleh Ubah Banyak UU tapi Pemain Cuma Baca Kontrak)
Selain persentase bagi hasil, insentif lainnya adalah kelonggaran kewajiban kontraktor memasok minyak ke dalam negeri dan investment credit atau pengembalian nilai investasi. “Bagi para kontraktor yang melakukan investasi untuk peningkatan produksi minyak melalui teknologi secondary recovery maka dijamin akan diperpanjang kontraknya dengan skema baru yang lebih menarik bagi investor,” ujarnya kepada Katadata, Kamis (16/6).
Beragam insentif diberikan agar kontraktor tambah bersemangat mencari sumber-sumber migas baru di dalam negeri. Potensi cadangan minyak dan gas di Indonesia sebenarnya masih sangat besar. Kementerian ESDM mengklaim adanya penemuan cadangan migas sebesar 21,8 miliar barel setara minyak sepanjang tahun lalu.
Berdasarkan data kementerian, kata Djoko, total original oil in place (OOIP) yang ada di Indonesia sebesar 72,08 miliar barel. Original Oil in Place adalah jumlah hidrokarbon awal yang terperangkap dalam cekungan minyak, baik yang bisa diproduksikan maupun yang tidak. OOIP ini terdiri dari sisa cadangan atau remaining reserve sebesar 3,2 miliar barel, 23,9 miliar barel cummulative production atau kumulatif produksi dan 44,98 miliar barel yang unrecoverable resource atau belum termanfaatkan.
Djoko mengatakan 44,98 miliar barel minyak tersebut belum bisa dioptimalkan karena masih dianggap tidak ekonomis. Apalagi untuk mengangkat minyak itu, kontraktor harus menggunakan teknologi secondary recovery, yakni melalui pendorongan air (water flood) atau pendorongan gas (gas flood). (Baca: Eksplorasi Minim, Cadangan Minyak Turun Hampir Empat Persen)
Optimalisasi cadangan migas ini sangat dibutuhkan, di tengah produksi nasional yang terus menurun, sementara kebutuhannya meningkat. Produksi minyak pada Januari 2016 sebesar 819.000 barel per hari (bph). Kemudian meningkat menjadi 840.000 bph pada Februari dan Maret bisa mencapai 847.000 bph.
Namun, pada periode 1 April sampai 5 April, produksi minyak hanya 841.000. Sehingga rata-rata produksi minyak sejak awal tahun hingga 5 April adalah 836.000 bph. Produksi minyak kembali turun menjadi 831.700 bph per 14 Mei 2016. (Baca: Produksi Migas Merosot dalam Satu Bulan Terakhir)
Tidak hanya minyak, produksi gas juga menurun. Selama periode 1 Januari hingga 14 Mei 2016, rata-rata gas yang diproduksi hanya 8.011 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Padahal per 5 April, rata-rata tahunan produksi gas bisa menembus 8.214 mmscfd, meskipun rencana kerja perusahaan (RKAP) hanya menargetkan 7.825 mmscfd.
Penurunan produksi ini berpengaruh juga terhadap target pencapaian lifting atau produksi siap jual. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 yang disetujui antara pemerintah dan Badan Anggaran DPR, lifting minyak ditetapkan 820.000 bph, sementara lifting gas sebesar 1.15 juta barel setara minyak per hari (bsmph). Target lifting tersebut lebih rendah dari target sebelumnya dalam APBN 2016. Lifting minyak ditargetkan 830.000 bph dan gas sebesar 1.155 juta bsmph.
Bahkan, pemerintah akan mengajukan usulan lifting minyak untuk tahun depan hanya 740.000-760.000 barel per hari. Sementara lifting gas bumi diusulkan antara 1,050 juta hingga 1,150 juta bsmph. Jadi total lifting migas diusulkan antara 1,790 juta hingga 1,910 juta bsmph. (Baca: Tekan Defisit, DPR Pangkas Dana Cost Recovery Migas 30 Persen)