Bentuk Komite, Pemerintah Godok Opsi Pengembangan Masela
Pemerintah menyiapkan beberapa skenario pemanfaatan gas Blok Masela dengan skema pengembangan di darat. Gas tersebut nantinya akan diolah menjadi gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) dan gas alam terkompresi atau Compressed Natural Gas (CNG), serta digunakan untuk industri petrokimia. Hal ini dengan mempertimbangkan skenario harga minyak dan gas bumi serta masa produksi.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengatakan, skenario pertama adalah masa produksi Blok Masela bisa mencapai 71 tahun dengan catatan 541 juta kaki kubik per hari (mmscfd) gas akan digunakan untuk LNG, 300 mmscfd untuk industri petrokimia, dan 60 mmmscfd CNG. Dengan asumsi harga minyak US$ 60 per barel dan harga gas US$ 6 per mmbtu, tingkat pengembalian investasi atau Internal Rate of Return (IRR) bisa mencapai 16,45 persen. (Baca: Pemerintah Tunggu Usulan Inpex Soal Insentif Blok Masela)
Sementara dalam skenario kedua, masa produksi akan lebih pendek yakni hanya 47 tahun. Penyebabnya, volume gas untuk petrokimia dinaikkan menjadi 700 mmscfd, sementara alokasi untuk industri lain masih sama dengan skenario pertama. Dengan asumsi harga migas sama dengan skenario pertama, IRR masa produksi 47 tahun akan lebih besar yakni 21,42 persen. “Investasi masih menguntungkan bagi investor,” kata Rizal seusai rapat koordinasi percepatan pembangunan Proyek Masela di kantor Kemenko Kemaritiman, Jakarta, Rabu (11/5).
Dengan memanfaatkan gas tersebut ke beberapa industri, Rizal mengklaim keuntungan yang diperoleh akan lebih besar dibandingkan pengolahannya hanya di kilang LNG dan langsung menjualnya. Jika produksi gas sebanyak 1.200 mmscfd atau 7,5 juta ton per tahun itu langsung diolah di kilang LNG dengan asumsi harga US$ 7,2 per mmbtu maka pendapatan dari blok itu hanya US$ 2,52 miliar per tahun. Sementara kalau gas tersebut dimanfaatkan untuk industri seperti petrokimia, dapat menghasilkan pendapatan US$ 6,5 miliar per tahun.
(Baca: Pemerintah Diminta Utamakan Efek Berantai di Blok Masela)
Rizal berharap gas tersebut dapat mengalir ke industri-industri di daerah Maluku. Kementerian Perindustrian mencatat, kebutuhan gas di Maluku mencapai 206,5 mmscfd. Rinciannya untuk industri petrokimia 165 mmscfd, industri keramik 23 mmscfd, industri kaca 16 mmscfd, dan industri rumput laut 2,5 mmscfd.
Sementara itu, Direktur Pembinaan Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto menyatakan skenario tersebut belum final. Alasannya, alokasi gas tersebut sampai saat ini belum ditentukan. Pemerintah masih perlu memastikan gas tersebut dapat benar-benar terserap untuk industri dalam negeri.
Ia menambahkan, jangan sampai gas tidak dapat terserap dalam negeri setelah Blok Masela berproduksi. Jika tidak ada jaminan gas terserap, bisa merugikan negara karena tidak ada jaminan investasi yang sudah dikeluarkan dapat kembali. (Baca: Proyek Masela Mundur, Rizal Ramli Minta Inpex Tak Setir Negara)
Untuk memastikan gas tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal di dalam negeri, pemerintah membentuk sebuah komite gabungan. Komite gabungan ini terdiri dari Kementerian Perindustrian, Bappenas, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria, Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi serta rektor dari Universitas Pattimura Maluku dan tokoh Maluku. "Tim ini akan mencari siapa industri di dalam negeri yang membutuhkan gas," ujar dia.