Kementerian ESDM Minta Kemudahan Azas Cabotage untuk Migas
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta Kementerian Perhubungan melonggarkan kewajiban azas cabotage untuk industri hulu minyak dan gas (migas). Sebab, meski industri migas sudah dikecualikan dari kewajiban tersebut, mereka harus mengantongi izin penggunaan kapal berbendera asing yang dievaluasi setiap tiga bulan.
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, pemerintah memang tengah mengkaji beberapa insentif untuk industri hulu migas. Salah satunya adalah azas cabotage bagi kapal pengeboran (drilling ship). “Kami sedang perjuangkan ke Kementerian Perhubungan,” kata dia kepada Katadata, Rabu (27/4). Harapannya, insentif ini bisa meringankan beban para kontraktor migas di tengah rendahnya harga minyak dunia. (Baca: Asosiasi Migas Berharap Insentif selama Harga Minyak Rendah)
Namun, Kepala Bagian Organisasi dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Bambang Sutrisna belum mau banyak berkomentar perihal rencana tersebut. “Pada prinsipnya aturan dibuat untuk kebaikan bersama, apabila ada permintaan secara resmi tentu akan dibicarakan dan didiskusikan lebih lanjut,” kata dia kepada Katadata.
Penerapan azas cabotage, yang mewajibkan kapal yang beroperasi di Indonesia menggunakan bendera Merah-Putih, sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Dalam Pasal 8 disebutkan kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.
Selain itu, dalam Ayat 2 pasal itu menyatakan, kapal asing juga dilarang mengangkut penumpang atau barang, antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia. Tujuannya melindungi kedaulatan negara serta memberikan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya bagi perusahaan angkutan laut nasional dalam memperoleh pangsa muatan. (Baca: Pemerintah Tak Mau Obral Insentif Pengganti Biaya Operasi Migas)
Menindaklanjuti hal tersebut, pemerintah membuat Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2010 tentang angkutan di Perairan. Namun, setahun berselang aturan direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2011 tentang Angkutan Perairan Laut. Dalam aturan itu, pemerintah memberikan pengecualian azas cabotage untuk industri migas.
Dengan adanya aturan itu, kegiatan survei minyak dan gas bumi, pengeboran, konstruksi lepas pantai, penunjang operasi lepas pantai, pengerukan, salvage dan pekerjaan bawah air boleh menggunakan kapal berbendera asing. Namun, kapal tersebut harus mendapatkan izin terlebih dulu dari Menteri Perhubungan. (Baca: BUMN Diminta Kembangkan Usaha Pelayaran Lepas Pantai)
Mekanisme dan syarat perizinan tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 48 Tahun 2011. Dalam aturan tersebut, setelah memberikan izin, Direktur Jenderal Perhubungan Laut setiap tiga bulan akan melakukan evaluasi untuk ketersediaan kapal berbendera Indonesia. Evaluasi ini juga melibatkan asosiasi penyedia jasa serta asosiasi pengguna jasa.