Jusuf Kalla: Freeport, Skandal Terbesar di Indonesia
KATADATA - Bak kotak pandora, rekaman percakapan segitiga antara Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Seta Novanto, pengusaha migas Muhamad Reza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin membuka banyak rahasia. Sejumlah nama yang muncul dalam rekaman itu telah dilaporkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan DPR.
Dalam rekaman yang membahas skenario perpanjangan Kontrak Karya PT Freeport Indonesia itu, muncul nama Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan. Setelah itu, publik dibuat ramai kabar pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden. Untuk menguak masalah tersebut, Mahkamah Kehormatan DPR menggelar sidang mulai hari ini.
Karena namanya mucul dalam rekaman tersebut, Jusuf Kalla tidak mempermasalahkan jika Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (MKD) memanggilnya dalam sidang dugaan pelanggaran kode etik oleh Setya Novanto. “Siap. Kami tidak terlibat sama sekali,” kata Kalla di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa, 1 Desember 2015. (Baca: Tiga Orang di Balik Rekaman Skenario Kontrak Freeport).
Dalam transkrip rekaman pertama yang beredar di kalangan wartawan pertengahan bulan lalu, Setya diduga meminta sejumlah imbalan agar perpanjangan kontrak Freeport yang akan berakhir pada 2021 berjalan mulus. Dalam permintaan ini dia mengatasnamakan Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla. Selain itu, ada pula permintaan jatah saham pada proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air Uru Muka di Kabupaten Mimika, Papua, yang berkapasitas satu gigawatt.
Total kepemilikan yang diminta 49 persen. Sejumlah saham tersebut akan diberikan kepada Presiden dan Wakil Presiden sebesar 20 persen. Untuk Jokowi 11 persen dan JK 9 persen. Bukan hanya jatah saham, dia pun berharap Freeport menjadi investor sekaligus pembeli atau off taker listrik yang akan dihasilkan pembangkit ini.
Untuk melihat kebenaran dalam kasus ini, JK memint semua dibongkar. Jika pencatutan nama ini benar, “Ini skandal terbesar di Indonesia,” kata Kalla. Sebab, dalam kisruh ini menyeret nama-nama petinggi negeri ini, dari ketua legislatif hingga pemimpin eksekutif. Juga, melibatkan Freeport, perusahaan tambang emas terbesar di Indonesia.
Sementara itu, ketika publik menanti kerja MKD, lembaga tersebut malah ribut sendiri. Misalnya, dalam rapat internal hari ini yang semestinya menentukan jadwal sidang, MKD justru membahas validitas dan verifikasi data rekaman yang dijadikan sebagai alat bukti. Juga, mempertanyakan posisi hukum atau legal standing Menteri Sudirman Said sebagai pelapor.
Akibatnya, rapat kembali diskors selama 45 menit. “Adanya argumen masing-masing anggota membuat tidak tercapai titik temu,” kata Anggota MKD, Sariffudin Suding. Dia menyarankan keputusan diambil melalui voting agar masalah ini tidak jalan di tempat. (Baca: Sidang MKD Alot, Bukti Rekaman Setya Novanto Dipersoalkan Lagi).
Ditemui di tempat terpisah, Wakil Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan metode validasi dan verifikasi alat bukti merupakan hal yang penting. Hal ini untuk menentukan apakah bukti yang ada cukup atau tidak diteruskan ke persidangan. Perdebatan ini terus mengemuka lantaran masalah validasi dan verifikasi alat bukti diatur dalam undang-undang.
Hal berbeda diutarakan Wakil Ketua MKD yang lain, Junimart Girsang. Menurutnya, hal-hal tersebut seharusnya sudah selesai dan tidak diperdebatkan lagi. Sehingga cepat membawa hasilnya ke rapat paripurna. (Baca pula: Kisruh Freeport, Ari Soemarno Bantah Terlibat Perang Antargeng).
Seorang sumber mengatakan beberapa anggota MKD diduga ingin mengulur waktu, bahkan menutup jalannya persidangan kasus ini. Misalnya, wacana itu diduga disampaikan Abdul Kahar Muzakir. Namun ketika Wakil Ketua MKD dari Partai Golkar ini dimintai keterangan, Kahar Muzakir memilih bungkam. “Ada yang meminta ditutup dengan didasari argumentasi yang bersangkutan (Kahar Muzakir),” kata Sariffudin. Namun, dia menegaskan penutupan kasus ini mustahil dilakukan.
Di tengah perdebatan Mahkamah Kehormatan DPR, sejak kemarin beredar transkrip rekaman “seri kedua” atas pertemuan segitiga di Pacific Place pada 8 Juni 2015. Dalam transkrip yang juga diterima Katadata, kali ini durasi yang dituliskan lebih panjang. Di antara yang paling menonjol dalam rekaman lengkap ini yaitu nama Luhut disebut berulang-ulang, hingga 66 kali secara bergantian.
Misalnya, sewaktu membicarakan pernikahan putra Jokowi:
MR: Bukan tanggal 12, kata Lucas. Pak Luhut pesen musti ketemu dia.
Lalu, ketika Reza menawarkan ke Setya Novanto untuk ikut terbang naik pesawat pribadinya:
SN: Pak Luhut kan…
MR: Gua sebentar, gua salaman, gua ketemu Pak Luhut terus gua kabur ke airport. Habis mau ngapain lagi lama-lama, yang penting buat kita nongol, salaman, ketemu Pak luhut udah.
Begitu pula ketika diundang silaturrahmi pimpinan lembaga tinggi negara dan membicarakan rencana divestasi Freeport:
SN: Pak Luhut cuma bilang kita runding.
Kepada Presiden Jokowi, Novanto mengaku sudah membicakan soal divestasi dengan Luhut:
SN: Oh iya sudah Pak. Pak Luhut yang banyak memberikan pendapat.
Adapun sewaktu acara silaturrahmi itu, Setya Novanto pun mengaku diminta presiden untuk bicara dengan Luhut.
Dalam transkrip rekaman tadi, Setya Novanto selalu menyebut Reza sebagai pengatur strategi, sedangkan kuncinya ada di tangannya dan Luhut. Setya berkisah pengalaman kerjasama dengan Luhut dalam meredakan ketegangan saat pemilihan Kepala Kepolisian RI yang melibatkan Budi Gunawan. Cerita ini untuk meyakinkan Maroef akan kepastian perpanjangan Freeport. (Baca: Peran Luhut dalam Transkrip Rekaman Kontrak Freeport).
SN: Maksudnya saya pengalaman itu. Jadi kita harus pakai akal. Kita harus pakai ini. Kuncinya, kan ada kuncinya. Kuncinya kan ada di Pak Luhut, ada saya. Nanti lempar-lemparan. Ada dia strateginya (mengarahkan pandangan ke Reza Chalid). Mereka akan menggocek rencana ini.
Katadata telah meminta penjelasan transkrip rekaman “seri dua” ini kepada Luhut. Namun, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM itu hanya membaca pesan Whatsap yang dikirim kepadanya, tanpa membalas.
Sementara itu, kepada Tempo, Luhut hanya berujar, “Ya, enggak apa-apa. Kita tunggu saja MKD,” ujarnya, kemarin. Luhut tak khawatir apabila Mahkamah Kehormatan memanggilnya. “Ya, saya akan datang (ke MKD).” Ia menegaskan tak pernah setuju atas perpanjangan kontrak Freeport. “Saya tak pernah terlibat gituan. Posisi saya jelas. Saya enggak pernah setuju ada perpanjangan Freeport sebelum waktunya, 2019.”