Menyoal Isi RUU Haluan Ideologi Pancasila yang Berujung Polemik
Pemerintah menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP dengan DPR. Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 masih berlaku mengikat dan tidak perlu dipersoalkan lagi.
"Tap MPRS No 25 tahun 1966 tentang larangan komunisme Marxisme dan Leninisme itu merupakan suatu produk hukum peraturan perundang-undangan yang mengikat dan tidak bisa lagi dicabut oleh lembaga negara atau oleh undang undang sekarang ini," kata Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Selasa (16/6).
Pemerintah juga tidak lagi mempersoalkan rumusan Pancasila. Rumusan itu, menurut Mahfud, telah disahkan pada 18 Agustus 1945 dan terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
(Baca: Usai Jadi Polemik, Pemerintah Tunda Pembahasan RUU Ideologi Pancasila)
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan pemerintah menunda pembahasan RUU HIP untuk memberikan kesempatan kepada DPR kembali mendengar masukan-masukan dari masyarakat. "Kami berharap DPR mencoba menerima masukan," ucapnya.
Ia juga mengatakan Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 sudah dipertegas di Tap MPR Nomor 1 Tahun 1993 dan tetap berlaku. “Jadi, sebetulnya tidak perlu dikhawatirkan lagi, termasuk mengenai Pancasila karena sudah ada di pembukaan UUD 1945," tutur Yasonna.
Tap MPRS itu memuat tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah NKRI bagi PKI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme.
(Baca: Tunda Pembahasan RUU HIP, Istana Dapat Masukkan dari Ormas Islam)
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) menyarankan agar proses legislasi RUU HIP dihentikan. Menurut Ketua Umum PBNU Kiai Haji Said Aqil Siradj, pembahasannya dapat menguak kembali konflik ideologi yang mengarah ke krisis politik.
PBNU berpandangan tidak ada urgensi dan kebutuhan sama sekali untuk memperluas tafsir Pancasila dalam undang-undang khusus. Pancasila merupakan pedoman yang mendasari pembangunan nasional.
Arus penolakan terhadap RUU HIP juga muncul di kalangan pawa wakil daerah. Wakil Ketua DPD RI Sultan Bachtiar Najamuddin menolaknya karena tidak mencantumkan isi Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1996. Hal ini dinilai sebagai pintu masuk kembali ajaran komunisme.
(Baca: Pasca Covid-19, Politik Irasional Tak Akan Didukung)
Apa Isi RUU HIP?
RUU ini masuk dalam program legislasi priortas DPR pada 2020. Beleidnya terdiri dari 10 bab dan 60 pasal. Di dalamnya terdapat pasal yang kontroversial. Misalnya, pasal 7 yang terdiri dari tiga ayat menyebut tentang konsep trisila, ekasila, dan Ketuhanan yang berkebudayaan.
Dalam ayat 2 pasal itu menyebut ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta Ketuhanan yang berkebudayaan. Lalu, di butir selanjutnya mengatakan trisula terkristaliasi dalam ekasila, yaitu gotong royong.
Konsep trisila tersebut pertama kali diucapkan Sukarno di hadapan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1 Juni 1945. Ia mengatakan lima sila dalam Pancasila dapat diperas menjadi tiga (trisila) dan dikumpulkan lagi menjadi satu (ekasila).
(Baca: Obesitas Regulasi jadi Alasan Jokowi Bentuk Omnibus Law)
Terakhir, dalam pasal 47 ayat 2 rancangan terebut menyebut adanya pembentukan Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Anggotanya dapat diisi anggota TNI dan Polri yang aktif. Padahal, dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang BPIP menyebut anggotanya hanya boleh diisi purnawirawan.
Partai Pendukung RUU HIP
Ada tujuh partai di parlemen yang mendukung RUU ini, antara lain PDIP, Gerindra, PKB, PAN, Nasdem, Golkar, dan PPP. PKS menyetujui pembahasan RUU HIP dengan catatan.
Sementara, Partai Demokrat menarik diri dari pembahasan. Partai berlambang bintang mercy itu berpendapat tak ada urgensi dari pembahasan rancangan aturan tersebut di tengah pandemi corona.