Jejak Kasus Korupsi Imam Nahrawi Sampai Divonis 7 Tahun Penjara
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi divonis 7 tahun penjara atas kasus suap pengurusan proposal dan gratifikasi terkait dana hibah KONI. Vonis ini mengakhiri perjalanan kasusnya selama lebih kurang dua tahun
“Mengadili, menyatakan terdakwa Imam Nahrawi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut,” kata Ketua Majelis Hakim Rosmina di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor, Senin (29/6).
Vonis ini dijatuhkan karena Nahrawi terbukti melanggar Pasal 12 hurur a juncto Pasal 18 dan Pasal 12 B ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
(Baca: Divonis Bersalah, Imam Nahrawi Wajib Ganti Rugi Uang Negara Rp 18 M)
Nahrawi dan asisten pribadinya Miftahul Ulum dinilai terbukti menerima suap sebesar Rp 11,5 miliar dari mantan Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy dan mantan Bendahara KONI Johnny E Awuy guna mempercepat proses persetujuan dana hibah dari Kemenpora untuk tahun kegiatan 2018. Selain itu, Nahrawi disebut Majelis Hakim terbukti menerima gratifikasi senilai Rp 8.348.435.682 dari sejumlah pihak.
Namun, vonis yang diterima Nahrawi lebih ringan dari tuntuan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan penjara.
Rosmina juga memvonis Nahrawi dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama empat tahun terhitung sejak masa hukuman pokok selesai berjalan. Nahrawi juga wajib membayar ganti rugi kepada negara sebanyak Rp 18.154.230.882 dalam tempo sebulan setelah putusan berkekuatan tetap. Jika Nahrawi tidak membayarnya maka harta bendanya bisa disita dan dilelang sebagai penutup uang pengganti.
Rosmina dalam persidangan menyatakan, hal yang meringankan Nahrawi adalah bersikap sopan selama persidangan, berstatus sebagai kepala keluarga dan bertanggung jawab kepada anak-anaknya yang masih kecil, dan belum pernah dihukum. Sedangkan hal yang memberatkan adalah dianggap tak bekerja sama dalam memberantas korupsi dengan tak mengakui kesalahannya.
(Baca: 5 Fakta di Balik Kasus Korupsi Imam Nahrawi)
Menanggapi putusan ini, Nahrawi bersumpah dengan menyebut nama Tuhan tak menerima suap senilai Rp 11,5 miliar. Ia pun justru meminta pengusutan kasus ini dilanjutkan. “Kami mohon Yang Mulia ini tidka dibiarkan. Kami tentu harus mempertimbangkan untuk ini segera dibongkar ke akar-akarnya,” kata Nahrawi dalam persidangan.
Terkait banding, Nahrawi menyatakan masih memikirkannya. Ia lanjut menyatakan, “kami maafkan JPU, Pimpinan KPK, penyidik, penyelidik, kami tidak akan pernah lupakan apa yang terjadi. Terima kasih Yang Mulia, kami nyatakan pikir-pikir, agar Rp 11,5 miliar dana KONI ini bisa kita bongkar sama-sama.”
Riwayat Kasus Imam Nahrawi
Kasus yang menjerat Nahrawi bermula dari operasi tangkap tangan atau OTT oleh komisi anti rasuah pada 18 Desember 2018. Sembillan orang yang terdiri dari pejabat Kemenpora dan pengurus KONI diringkus. Lima orang di antaranya kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
Lima orang tersebut yakni, Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora, Mulyana; Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy; Bendahara KONI Johnny E Awuy; Pejabat Pembuat Komitmen Kemenpora Adhi Purnomo; dan Staf di Kemenpora Eko Triyanto.
Sehari setelah OTT, Nahrawi menggelar konferensi pers dan menyatakan terpukul dengan korupsi yang membelit Kemenpora. “Sunggu saya dan tentu kami semua prihatin, terkejut, kecewa atas kejadian yang menimpa semalam Deputi IV dan Staf Kedeputian,” katanya.
Lima hari setelah konferensi pers tersebut, Nahrawi dipanggil KPK untuk menjalani pemeriksaan selama lebih kurang lima jam. Kepada penyidik KPK ia menjelaskan mengenai prosedur pengajuan proposal dana hibah KONI.
Persidangan pertama yang digelar lebih kurang tiga bulan setelah OTT, saksi Sekretaris Bidang Perencanaan Anggaran KONI, Suradi menyebut seorang berinisial M mendapat jatah Rp 1,5 miliar dari proses suap dana hibah ini. Ia kemudian menerangkan maksud inisial M adalah Menpora.
Nahrawi pada 22 Maret 2019 pun membantahnya. Ia menyatakan, “saya tidak tahu siapa yang membuat inisial-inisial itu dan termasuk yang menafsirkan inisial tersebut. Saya pastikan tidak terlibat dan tidak tahu menahu.”
(Baca: Mantan Pebulu Tangkis Taufik Hidayat Diperiksa 6 Jam di KPK)
Nahrawi sempat dua kali menjadi saksi dalam persidangan. Pertama, pada 29 April 2019 untuk tersangka Ending dan Johnny. Kedua untuk tersangka Mulyana dan Adhi pada 4 Juli 2019. Di persidangan kedua JPU mencecarnya terkait penggelembungan dana hibah KONI dari aturan Permen Nomor 10 tahun 2018 maksimal Rp 7 miliar menjadi Rp 47 miliar.
Menjawab hal itu, Nahrawi berdalih itu merupakan tanggung jawab Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemenpora dan unit di bawahnya. Ia pun mengaku takt ahu soal anggaran itu dan pencairannya hingga terjadi OTT oleh KPK.
Pengadilan Tipikor memvonis lebih dulu Mulyana, Eko, dan Adhi pada 12 September 2019. Mulyana divonis 4 tahun dan 6 bulan penjara serta pidana denda Rp 200 juta subsider kurungan 2 bulan penjara. Sementara Eko dan Adhi divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan.
Pada hari yang sama, KPK menahan asisten pribadi Menpora, Miftahul Ulum. Penahanan ini dilakukan tanpa adanya pengumuman tersangka dari KPK. Ia baru ditetapkan tersangka pada 18 September 2019 berbarengan dengan penetapan Nahrawi.
Pengumuman penetapan tersangka dilakukan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta. Dalam pernyataannya, Nahrawi diduga menerima suap Rp 26,5 miliar secara bertahap sejak 2014 sampai 2018.
Nahrawi pada hari yang sama mengundurkan diri sebagai Menpora dan mengaku siap menghadapi kasus ini. Pengunduran diri dilakukan melalui konferensi pers di rumah dinas Menpora, Jalan Widya Chandra, Jakarta Selatan.
“Tentu pada saatnya kita buktikan bersama-sama karena saya tidak seperti yang dituduhkan dan kita akan ikuti nanti seperti apa proses yang ada di pengadilan,” kata Nahrawi.
Sempat Mengajukan Praperadilan
Nahrawi sempat mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 18 Oktober 2019. Pengajuan ini terdaftar dengan nomor 130/Pid.Pra/2019/PN JKT.SEL. Petitum pertama yang diajukan Nahrawi adalah “menyatakan menerima dan mengabulkan pemohon untuk seluruhnya.”
Selain itu, Nahrawi juga menyatakan penetapannya sebagai tersangka yang berdasar Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Dik/94/DIK.00/01/08/2019 tertanggal 28 Agustus 2019 tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Selanjutnya, petitum menyatakan Surat Perintah Penahanan Nomor Sprin.Han/111/DIK.01.03/01/09/2019 tertanggal 27 September 2019 tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Ia juga meminta kepada KPK menghentikan seluruh proses penyidikan atas dirinya dan mengeluarkannya dari Rutan Pomdam Jaya Guntur sejak putusan dibacakan.
Namun, Hakim Tunggal Eflian dalam persidangan di PN Jakarta Selatan pada 12 November 2019 menolak praperdailan Nahrawi. Ia menyatakan KPK telah melakukan penetapan tersangka dan penangkapan Nahrawi sesuai prosedur hukum yang berlaku.