Jadi Buron dan Lolos dari Intel Kejaksaan, Siapa Joko Tjandra?

Sorta Tobing
2 Juli 2020, 14:12
joko tjandra, djoko tjandra, kasus bank bali, kejaksaan agung, buronan kasus bank bali
ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Ilustrasi. Jaksa Agung ST Burhanuddin (tengah) mengakui buron kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko Sugiarto Tjandra, di Jakarta pada 8 Juni 2020 lolos dari pantauan intelijen Kejaksaan Agung.

Buron kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko Sugiarto Tjandra, lolos dari pantauan intelijen Kejaksaan Agung. Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, Joko sempat berada di Indonesia pada 8 Juni 2020 untuk mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Burhanuddin mengatakan informasi itu baru ia ketahui dan langsung mengklarifikasi kepada pengadilan. "Saya menanyakan kepada Pengadilan bahwa (PK) itu didaftarkan di bagian Pelayanan Terpadu. Jadi identitasnya tidak terkontrol," kata Burhanuddin dalam rapat dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen RI Senayan Jakarta, Senin (29/6).

Ia mengakui lolosnya Joko menunjukkan kelemahan deteksi intelijen kejaksaan.  Namun, ia juga heran tak berfungsinya sistem pencekalan. Seharusnya, Joko tidak bisa masuk ke Indonesia."Bila sudah terpidana, seharusnya pencekalan ini terus-menerus dan berlaku sampai tertangkap," ujarnya.

(Baca: Jaksa Agung Akui Intelijen Lemah Tak Tahu Djoko Tjandra di Jakarta)

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan tidak ditemukan data dalam sistemnya mengenai keberadaan Joko. Ia juga membantah buronan itu sudah berada di Indonesia sejak April lalu.

"Dari mana data bahwa dia tiga bulan di sini, tidak ada datanya kok. Di sistem kami tidak ada, saya tidak tahu bagaimana caranya," katanya pada Selasa lalu.

RAKER KOMISI III BERSAMA MENKUMHAM
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan tidak ditemukan data dalam sistemnya mengenai keberadaan Joko Tjandra. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/hp.)

Kronologi Status Joko Tjandra Sebagai DPO

Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Arvin Gumilang menuturkan permintaan pencegahan atas nama Joko Soegiarto Tjandra oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilakukan pada 24 April 2008. Pencegahan tersebut berlaku selama 6 bulan.

Kemudian, keluar red notice dari Interpol atas nama Joko Soegiarto Tjandra terbit pada 10 Juli 2009. Pada 29 Maret 2012 terdapat permintaan pencegahan ke luar negeri dari Kejaksaan Agung RI berlaku selama enam bulan.

Pada pada 12 Februari 2015 terdapat lagi permintaan DPO dari Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia terhadap Joko Soegiarto Tjandra. Direktorat Jenderal Imigrasi lalu menerbitkan surat perihal DPO kepada seluruh kantor imigrasi ditembuskan kepada Sekretaris NCB Interpol dan Kementerian Luar Negeri.

(Baca: Kejagung Usut Kerugian Negara dalam Kasus Penyelundupan Impor Tekstil)

Tahun ini, tepatnya 5 Mei 2020 terdapat pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak tahun 2014, karena tidak ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung RI. Ditjen Imigrasi menindaklanjuti hal tersebut dengan menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020.

Pada 27 Juni 2020, Kejaksaan meminta kembali permintaan serupa sehingga Joko kembali masuk dalam sistem perlintasan dengan status DPO. "Di samping kronologi di atas, perlu disampaikan juga bahwa atas nama Joko Soegiarto Tjandra alias Joe Chen tidak ditemukan dalam data perlintasan," ujar Arvin.

Siapa Djoko Tjandra?

Melansir dari Majalah TEMPO, di era 1990-an Joko kerap disebut raja bisnis perkantoran. Pada 1999 ia berurusan dengan Kejaksaan Agung untuk kasus pengalihan hak tagih Bank Bali. Sebagai bos PT Era Giant Prima, Joko bersama Setya Novanta diduga menggelapkan uang bank tersebut senilai Rp 546 miliar.

Joko terkena tuduhan korupsi. Tapi ini bukan tuduhan yang pertama. Sebelumnya, ia juga menjadi tersangka kasus korupsi yang dilakukan PT Mulia Griya Indah. Joko meminjam US$ 50 juta ke BRI untuk membangun Mal Taman Anggrek II. Proyek itu gagal, tapi ia mengambil duitnya tanpa membayar cicilan.

Ada lagi kasus Hotel Mulia di kawasan mewah Senayan, Jakarta Pusat. Joko mendapatkan proyek membangun hotel bintang lima seiring dengan penyelenggaraan SEA Games XIX 1997 di Jakarta. Yang menawarinya proyek ini adalah Bambang Trihatmodjo (putra Presiden Soeharto), Bambang Soegomo, dan Enggartiasto Lukita.

(Baca: Buronan sejak Februari, Eks Sekretaris MA Nurhadi Ditangkap KPK)

Dua anak perusahaan Mulia Group, yaitu PT Mulia Intan Lestari dan PT Mulia Karya, memperoleh pinjaman dari Bank Bumi Daya (BBD), masing-masing sebesar US$ 75 juta dan US$ 50,45 juta. Pinjaman itu juga macet sehingga total tunggakannya mencapai US$ 150 juta.

Pada saat yang sama, Joko juga mengajukan kredit US$ 70 juta untuk membangun gedung perkantoran Wisma Mulia II di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Ia memakai anak usahanya yang lain, yaitu Karya Gemilang.

Pria kelahiran Sanggau, Kalimantan Barat, itu kemudian minta agar kredit Karya Gemilang dialihkan ke Mulia Intan Lestari dan disetujui oleh BBD. Hotel Mulia berhasil ia selesaikan dalam waktu hanya sembilan bulan dan mendapat banyak pujian. Tapi dalam sekejap bisnisnya hancur karena krisis moneter 1997. Mulia akhirnya tak membayar cicilan utang, meskipun sudah direstrukturisasi oleh BBD.

BBD akhirnya menyerahkan kredit macet itu ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Ketika itu, Joko tak pernah datang meladeni panggilan BPPN. Pemerintah akhirnya menempuh langkah hukum.

(Baca: Deretan Koruptor Lansia yang Berpeluang Bebas karena Penanganan Corona)

Pada Juni 2009, kejaksaan memenangkan pertimbangan kembali dan Joko Tjandra divonis bersalah dengan tuntutan dua tahun hukuman penjara dan denda Rp 15 juta. Selain itu, pengadilan memerintahkan Joko untuk mengembalikan hasil kejahatannya senilai Rp 546 miliar pada negara.

Sehari sebelum hakim mengeluarkan keputusan itu, Joko kabur ke luar negeri sehingga dirinya ditetapkan sebagai buronan. Ia kabur ke Papua Nugini dan dikabarkan sudah berstatus warga negara di sana.

Pada 2011, Majalah TEMPO sempat menulis Joko masih melakukan bisnisnya di Indonesia. Ketika itu ia berencana membangun resor The Mulia Resort and Villas Bali. Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali Made Arjaya ketika itu yakin Joko pernah bertemu dengan pejabat setempat guna mengurus perubahan izin pembangunannya.

(Baca: Sidang Ditunda, Eks Dirut Jiwasraya Hendrisman Rahim Reaktif Covid-19)

Anggota Dewan menemukan nama Joko Tjandra tercantum dalam perubahan izin mendirikan bangunan (IMB) resor yang rencananya memiliki 635 kamar serta 108 vila itu. Sebelumnya, pada 2007, menurut dokumen perubahan itu, IMB resor di kawasan Pantai Geger tersebut atas nama Joko Tjandra selaku Direktur Utama PT Mulia Graha Tata Lestari.

Melalui IMB 29 Maret 2011, pria bernama asli Tjan Kok Hui itu mengalihkan IMB (balik nama) ke Viady Sutojo, selaku direktur utama baru PT Mulia Graha Tata Lestari.

Namanya lalu muncul lagi dalam kasus Panama Papers pada 2016. Berdasarkan informasi Mossack Fonseca, Joko disebut mendirikan perusahaan di negara-negara suaka pajak atau tax havens. Sebagian besar motifnya diduga untuk menyembunyikan harta dari endusan aparat pajak di negara masing-masing. Ia tak sendirian, ada juga nama saudagar minyak Riza Chalid.

Mengutip dari Kompas, adik Djoko Tjandra, dan seorang kerabatnya pernah menemui Presiden Joko Widodo di Papua Nugini. Ketika itu Presiden menghadiri jamuan malam kenegaraan bersama Perdana Menteri Papua Niugini Peter Charles Paire 0'Neill di Gedung Parlemen, Port Moresby, pada 11 Mei 2015.

(Baca: Kejaksaan Ungkap Alasan Kasus HAM Lama Belum Diproses)

Reporter: Tri Kurnia Yunianto, Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...