Survei: Mayoritas Masyarakat Mau Terima Politik Uang saat PIlkada
Transaksi politik uang masih kerap terjadi di Indonesia. Hasil survei Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) menyatakan mayoritas masyarakat di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan mau menerima uang dari pasangan calon kepala daerah ketika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Berdasarkan hasil survei, masyarakat di Sumatera yang mau menerima politik uang sebesar 62,95%. Sedangkan di Jawa, masyarakat yang mau menerima politik uang sebesar 60% dan di Kalimantan, masyarakat yang mau menerima politik uang sebanyak 64,77%.
"Jadi dari mereka yang kita tanyakan, sekitar 60% itu mau menerima politik uang," kata Peneliti Senior SPD Dian Permata dalam diskusi virtual, Kamis (2/7).
Dian mengatakan, kebanyakan masyarakat di ketiga pulau tersebut lebih memilih politik uang dalam bentuk tunai ketimbang barang. Hal ini sebagaimana hasil surveu yang menunjukkan, di Sumatera ada 64,26% masyarakat memilih mendapatkan politik uang dalam bentuk tunai.
(Baca: Dampak Krisis, Bawaslu Prediksi Politik Uang Meningkat saat Pilkada)
Di Jawa, masyarakat yang memilih mendapatkan politik uang dalam bentuk tunai sebanyak 76,14%. Sementara di Kalimantan, ada 67,72% masyarakat yang memilih menerima politik uang dalam bentuk tunai.
"Hampir 64% sampai lebih dari 70% itu mengaku memilih uang. Ini bisa dibayangkan," kata Dian.
Lebih lanjut, dia menyebut mayoritas masyarakat di ketiga pulau tersebut mau menerima politik uang dengan alasan rezeki tidak boleh ditolak. Di Sumatera, masyarakat yang menerima politik uang dengan alasan tersebut sebesar 34,66%.
Sedangkan di Jawa, masyarakat yang menerima politik uang dengan alasan rezeki tidak boleh ditolak sebesar 45,83% dan 36,84% masyarakat di Kalimantan menerima politik uang dengan alasan yang sama.
Alasan kedua yang paling banyak muncul ketika masyarakat di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan menerima politik uang karena menganggapnya sebagai pengganti ketika tidak bekerja di hari pencoblosan.
Alasan lain yang juga kerap disampaikan masyarakat di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan ketika menerima politik uang karena membutuhkannya untuk menambah keperluan sehari-hari. Ada 16,25% masyarakat di Sumatera mengaku menerima politik uang untuk menambah kebutuhan hidup sehari-hari.
(Baca: KPU Tak Bisa Larang Kampanye Pilkada 2020 Meski Digelar Saat Pandemi)
Sebanyak 9,09% masyarakat di Jawa mengaku menerima politik uang untuk menambah kebutuhan hidup sehari-hari. Di Kalimantan, ada 9,09% masyarakat yang mau menerima politik uang karena alasan tersebut.
Adapun, SPD menyebut efektivitas politik uang di ketiga pulau tersebut berbeda. Di Sumatera, sekitar 57% masyarakat mengaku akan memilih kandidat jika ditawari politik uang.
Sementara di Jawa, 50% masyarakat yang mau menerima ajakan pemberi politik uang untuk memilihnya dalam Pilkada dan di Kalimantan 60% menjawab pilihan yang sama.
"Ini problem kita ke depannya. Ini menjadi tugas tambahan bagi Bawaslu atau penyelenggara pemilu dalam mengampanyekan perang terhadap politik uang," kata Dian.
Sekadar informasi, SPD melakukan survei pada medio Januari hingga Maret 2020. Riset dilakukan dengan mewawancarai 440 responden. Adapun, tingkat kesalahan diperkirakan sebesar 4,47% dan tingkat kepercayaan 95%.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebelumnya memperkirakan potensi politik uang di pesta demokrasi tahun ini diperkirakan bakal lebih tinggi dibandingkan pada beberapa pemilihan sebelumnya.
Hal ini mengingat kondisi ekonomi masyarakat Indonesia memburuk akibat pandemi virus corona Covid-19. "Karena kondisi pandemi ini ekonomi kurang baik, maka money politic juga bisa tinggi," kata Ketua Bawaslu Abhan dalam diskusi virtual, Kamis (2/7).
Abhan memperkirakan modus politik uang berupa bantuan sosial diperkirakan marak terjadi dalam Pilkada 2020. Ada pula yang berbentuk pemberian bantuan alat kesehatan dan alat pelindung diri (APD).
Menurutnya, pemberian bansos, alat kesehatan, maupun APD ini sah-sah saja dalam kondisi normal. Hanya saja, bagi-bagi uang jelang Pilkada 2020 akan disertai unsur politis. "Nantinya dia diminta untuk memilih. Jadi unsurnya (politik uang) terpenuhi karena ada unsur untuk mengajak memilih," katanya.
(Baca: Bawaslu Ungkap Temuan Bansos Corona Dilabeli Stiker Kepala Daerah)
Untuk mengantisipasi terjadinya politik uang pada Pilkada 2020, Abhan menilai sudah ada aturan yang melarang hal tersebut. Aturan ini tercantum dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Sanksi politik uang dalam UU tersebut bisa berupa pidana maupun administrasi.
"Bawaslu punya kewenangan untuk memproses secara ajudikasi dan sanksi yang paling berat adalah memberikan putusan diskualifikasi," ujarnya.
Pilkada serentak akan dilaksanakan pada 23 September 2020. Pemilihan kepala daerah ini akan menentukan gubernur/wakil gubernur di sembilan provinsi, wali kota/wakil wali kota di 37 kota, dan bupati/wakil bupati di 224 kabupaten.