40 Tahun Menanti Pengakuan Hutan Adat Sungai Utik
Octavia Yessy mengucap ‘Puji Tuhan’ tatkala pemerintah Indonesia lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengakui bahwa hutan adat Sungai Utik milik masyarakat adat Iban. Lewat Surat Keputusan (SK) Nomor: 3238/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL. 1/5/2020 menetapkan Hutan Adat Menua Sungai Utik kepada masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua Sungai Utik Ketemenggungan Jalai Lintang seluas 9.480 hektare.
“Rasanya senang, haru, bercampur aduk karena kami sudah menunggu lama, 40 tahun,” kata Yessi kepada tim riset Katadata melalui perbincangan telepon. “Ingin nangis, tidak bisa terucap kata-kata.” Tak lama setelah mendapat kabar pada 30 Juni 2020, remaja 16 tahun itu langsung mengirim berita tersebut ke grup whatsapp keluarga dan masyarakat adat Sungai Utik.
Yessi anak asli masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik. Sebelum SK Hutan Adat keluar, remaja kelas XII di Bogor itu pernah mengungkapkan isi hatinya di hadapan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, akhir Mei lalu, secara virtual.
Dia bertutur tentang Sungai Utik dan kampung halamannya. “Saya lahir dan besar di rumah betang,” kata Yessi. ”Kami hidup dikelilingi hutan indah, seluas 10.000 hektare dengan air jernih Sungai Utik yang mengalir ke dusun,” ujarnya menambahkan.
Rumah betang atau rumah panjang merupakan bangunan komunal milik masyarakat Dayak Iban. Panjangnya 216 meter, memiliki 28 bilik atau pintu, dan dihuni 300 orang. Tiap pintu dihuni satu keluarga dan keturunannya. Berdasarkan data monografi Dusun Sungai Utik 2015, terdapat 89 kepala keluarga yang menempati 28 bilik di sepanjang rumah betang. Di sekitar rumah betang, terdapat 40 rumah yang semuanya berkerabat.
Dengan berbusana Dayak Iban, Yessi yang nama aslinya Octavia Rungkat Tuani, menjelaskan dirinya dibesarkan dengan budaya Dayak Iban yang hidupnya bergantung pada hutan. Sejak kecil, kata dia, anak-anak Iban telah akrab dengan hutan. Para orang tua kerap mengajak anak-anaknya ke hutan untuk berladang dan cara bertahan hidup di hutan.
Karena itu, keterikatan batin antara suku Dayak, khususnya warga Utik dengan hutan di sekelilingnya menjadi besar. “Hutan dan alam memberi kami kehidupan dan juga memperlihatkan kami kepada dunia,” ujarnya.
“Orang tua kami mengajarkan babas adalah apai kami, tanah adalah inai kami, dan ae adalah darah kami. Artinya, hutan adalah bapak kami, tanah adalah ibu kami, dan air adalah darah kami,” kata Yessi melanjutkan.
Bagi masyarakat Utik, hutan laksana bapak yang menyediakan segalanya, bak supermarket. Sementara tanah laksana ibu yang melahirkan tumbuhan dan pohon. Air adalah darah. Ibarat tubuh manusia, apabila darah tidak mengalir maka manusia akan mati.
Pemerintah butuh puluhan tahun untuk mengakui hutan adat masyarakat Iban Sungai Utik. Padahal sejak akhir 1970-an warga Dayak Iban tak kenal lelah untuk menolak keras tawaran sejumlah perusahaan kayu dan sawit yang ingin membeli tanah mereka. Mereka menolak lantaran filosofi hidupnya terikat dengan hutan. Mereka bahkan memiliki tata cara pengelolaan hutan dan hukum secara adat.
Menurut Herkulanus Sutomo Mana, salah seorang warga Dayak Iban Sungai Utik, tata cara pengelolaan hutan dan hukum adat telah berlangsung ratusan tahun. “Sudah turun temurun,” kata Tomo, panggilan akrab Herkulanus.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Barat, Dominikus Uyub mengatakan tidak semua wilayah hutan adat dapat dikelola. “Ada kawasan yang betul-betul dilindungi,” kata Uyub.
“Ada tata guna lahan yang dikelola dan dilindungi secara turun temurun sesuai tradisi dan aturan adat,” ujar Uyub. Dalam kehidupan suku Dayak Iban Komunitas Iban Sungai Utik, mereka telah memiliki kriteria fungsi dan manfaat serta pengelolaan dari masing-masing wilayah.
Dalam tata guna lahan ada kawasan lindung yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan alam. Masyarakat adat menyebut hutan lindung sebagai sumbernya kehidupan. “Tidak ada masyarakat adat yang menebang kayu untuk tujuan komersil,” katanya.
Mereka menebang di hutan kelola adat dan untuk kebutuhan sendiri. Misalnya, menebang 1 pohon, tapi menanam 5 pohon lainnya. “Tidak akan ada yang berani melanggarnya,” ujar Uyub.
Uyub menjelaskan ada batas wilayah kelola masyarakat dengan hutan primer. Biasanya dengan melihat damun (bekas ladang). Orang Iban membuka lahan untuk ladang. Setelah itu, kawasan yang sudah dibuka akan ditinggalkan peladangnya dan membiarkan pepohonan tumbuhan seperti sediakala selama 15-20 tahun. Membuka lahan pun tidak asal-asalan. “Lahan yang dibuka tak lebih dari dua hektare,” ujar Tomo menambahkan.
Dengan pengakuan Hutan Adat, warga Dayak Iban tak perlu cemas lagi mengelola hutan berdasarkan filosofi mereka. “Sekarang sudah ada kepastian hukum. Tidak ada alasan wilayahnya bisa diserahkan negara kepada investor atau segala macam," kata Tomo kepada Katadata.
Segala kegigihan dan konsistensi masyarakat Iban menjaga hutan adat Sungai Utik pun diganjar sejumlah penghargaan. Pada 24 September 2019, UNDP di New York, AS memberi penghargaan Equator Prize 2018 kepada Masyarat Dayak Iban. Sebelumnya mereka juga mendapatkan penghargaan Kalpataru.
Harapan Setelah Penetapan Hutan Adat
Yessi berharap pengakuan ini akan melestarikan kehidupan Dayak Iban dan hutan serta Sungai Utiknya. Tak hanya itu, Yessi berharap pemerintah pusat juga memerhatikan kehidupan masyakarat Dayak Iban, antara lain memberi pendidikan dan kesehatan yang memadai sehingga bisa terus menjaga hutan sebagai sumber kehidupan.
Apai Janggut, Kepala rumah panjang (rumah panjai) atau rumah betang sependapat dengan Yessi. Setelah mengantongi SK, selain bisa mendapatkan kompensasi hutan adat secara langsung, dia berharap pemerintah memberi perhatian lebih kepada masyarakat adat, khususnya Dayak Iban. “Harus ada bantuan pendidikan, buku dan kesehatan,” ujarnya Apai Janggut kepada tim riset Katadata via telepon.
Mengutip Mongabay, berdasarkan risalah pengolahan data penetapan hutan adat Menua Sungai Utik, kawasan hutan tersebut berada di hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan area penggunaan lain.
Maka, SK tersebut sekaligus menetapkan Hutan Adat Menua Sungai Utik sebagai fungsi lindung dan produksi. Hutan tidak boleh diperjualbelikan dan dipindahtangankan kepada pihak lain.
Yani Saloh, aktivis lingkungan hidup dan sekaligus salah satu promotor penghargaan Equator dan Kalpataru mengatakan bahwa penantian panjang ini berbuah manis. “Bayangkan sudah hampir 40 tahun masyarakat Iban Sungai Utik meminta agar wilayah adat mereka diakui,” kata Yani.
Yani yang mengaku ‘jatuh cinta’ dengan masyarakat adat Sungai Utik ini menganggap SK Hutan Adat semakin memperkuat secara hukum pelestarian dan menjaga hutan. ”Nature based solution itu sudah dilakukan oleh masyarakat Sungai Utik,” ujarnya.
Yani mencontohkan selama pandemi berlangsung, orang-orang Sungai Utik tak terlalu terpengaruh karena semua kebutuhan makanan mereka sudah disediakan oleh hutan dan sungai.
Maka dari itu, Yani berharap, pengakuan hutan adat akan membuat kelompok masyarakat adat secara turun temurun terus menjaga hutan dan sungai. Seperti harapan Yessi, yang merindukan hutan dan Sungai Utik karena belum bisa pulang selama masa pandemi Covid-19. “Saya rindu sungainya yang sangat jernih. Ikan-ikannya kelihatan sedang berenang…”