Dukung Akses Pemanfaatan Hutan, KPH Jawa Sampaikan 4 Sikap ke PTUN
Koalisi Pemulihan Hutan (KPH) Jawa menyerahkan Amicus Curiae kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Selasa (11/10). Sikap memberikan pendapat hukum kepada pengadilan karena merasa memiliki keterkaitan atau dikenal Sahabat Pengadilan ini diajukan sebagai respons atas gugatan Serikat Pekerja Perhutani yang menentang langkah Presiden Jokowi merealisasikan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK).
“Dengan Amicus Curiae ini, KPH Jawa memberikan masukan kepada Majelis Hakim PTUN Jakarta agar menolak gugatan serikat pekerja Perhutani dkk,” ujar Koordinator KPH Jawa, Edi Suprapto dalam keterangan tertulis. KPH Jawa merupakan koalisi masyarakat sipil yang beranggotakan organisasi masyarakat sipil bersama 88 Kelompok Tani Hutan pemegang izin Perhutanan Sosial.
Menurut Edi dukungan dari KPH Jawa didasarkan kemanfaatan yang bisa diterima masyarakat sekitar hutan atas keluarnya SK mengenai penggunaan kawasan hutan terlantar. Ketentuan tersebut justru dinilai sebagai upaya yang tepat untuk penyelamatan hutan jawa.
Dalam SK tertanggal 5 April 2022, Menteri LHK menetapkan sebanyak 1,1 juta hektare hutan produksi dan lindung di Jawa yang selama ini dikelola Perum Perhutani bisa dialihfungsikan menjadi KHDPK. Kawasan itu diperuntukkan bagi enam kepentingan yaitu perhutanan sosial, penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, ataupun pemanfaatan jasa lingkungan.
Pada pelaksanaanya, penetapan SK mendapat penolakan dari serikat pekerja Perhutani. Selanjutnya pada 10 Agustus 2022 serikat melayangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan Perkara Nomor 275/G/2022/PTUN.JKT. Dalam gugatannya, serikat pekerja Perhutani tidak setuju hutan seluas 2,4 juta hektare yang selama ini mereka kelola menjadi berkurang.
Di sisi lain, Edi mengatakan peruntukan KHDPK justru disambut hangat oleh petani hutan penerima izin perhutanan sosial di Jawa. Mereka menilai, pembagian lahan terlantar justru dapat membuka kesempatan petani hutan untuk menjadi subjek pengelola hutan dengan skema perhutanan sosial yang selama ini dikenalkan oleh pemerintah.
“Kami berpendapat dan mengusulkan agar PTUN Jakarta selayaknya tidak mengabulkan gugatan serikat pekerja Perhutani dkk atas KHDPK.” jelas Edi.
Dalam dukungan sahabat pengadilan yang disampaikan pada pengadilan, Edi mengatakan terdapat empat poin sikap yang disampaikan KPH Jawa. Pada poin pertama, koalisi menyatakan KHDPK tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
“SK ini sesuai dengan semangat Hak Menguasai Negara atas hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Sehingga, Menteri LHK sebagai representasi dari negara menjalankan kewenangannya,” ujar Edi.
Pada poin sikap kedua, koalisi menilai KHDPK justru berguna untuk memulihkan kerusakan hutan di Jawa. Menurut Edi, hingga saat ini setengah juta hektar hutan yang sebelumnya gundul di Jawa telah pulih hingga 70 persen. Hal itu terjadi karena lahan hutan tersebut dikelola oleh masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial.
Ia mencontohkan, kawasan hutan seluas 845 hektar di desa Besole yang dibiarkan gundul oleh Perhutani selama bertahun-tahun, kini sebagian telah ditanami berbagai jenis tanaman kayu. Sedangkan di Pasuruan, lahan hutan seluas 34 hektar yang sebelumnya gundul, saat ini telah ditanami oleh masyarakat.
“Perhutanan Sosial sebagai salah satu kepentingan KHDPK terbukti mampu memulihkan hutan di Jawa yang selama ini dibiarkan gundul oleh Perhutani,” kata Edi lagi.
Hal keempat yang menjadi sikap koalisi bahwa keberadaan KHDPK meningkatkan produktivitas lahan. Selama ini, Perhutani dinilai tidak optimal dalam menjalankan usaha sehingga membuat produktivitas lahan berkurang.
Menurut Edi, selama ini setiap tahun satu hektare lahan hanya menghasilkan pendapatan Rp 1 juta dengan keuntungan sekitar Rp 100 ribu. Jumlah ini dinilai jauh di bawah hasil yang bisa diperoleh bila lahan dikelola oleh petani maupun areal Perhutanan Sosial.
Terakhir, koalisi menilai keberadaan KHDPK bisa menjadi solusi dalam menyelesaikan konflik tenurial yang selama ini terjadi di hutan Jawa. Menurut Edi, saat ini terdapat 5 ribu lokasi seluas 107.334 hektare areal hutan yang telah dimanfaatkan masyarakat secara turun temurun. Sebanyak 35 persen digunakan untuk pertanian dan 65 persen untuk pemukiman. Sayangnya, status lahan tersebut tidak pernah ada kejelasan sehingga rawan konflik.
“Masyarakat pengguna lahan mengalami kerentanan serta sering mendapatkan ancaman dan label sebagai ‘penghuni liar’,” jelasnya.
Menurut Edi, dengan adanya KHDPK, pemerintah akan lebih mudah mengkoordinir masyarakat dalam penataan kawasan hutan. Dengan begitu, para pemukim bisa mendapatkan kepastian hak atas tanah.