KLHK Bakal Sidangkan Kasus Karhutla Dua Perusahaan di Kalbar
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bakal membawa dua perusahaan kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Barat pada 2019 ke meja hijau. PT Arrtu Energie Resources (AER) dan PT Arrtu Borneo Perkebunan (ABP) berdomisili di Kabupaten Ketapang siap menjalani proses persidangan oleh pihak Kejaksaan Tinggi setelah proses penyelidikan rampung dan berkas perkaranya sudah lengkap.
Direktur Jenderal Penegakkan Hukum LHK, KLHK, Rasio Ridho Sani mengatakan, kebakaran hutan merupakan sebuah tindak kejahatan yang berdampak masyarakat. Karhutla juga berdampak terhadap perekonomian, kerusakan ekosistem dan berdampak pada wilayah yang luas untuk waktu lama. Sehingga para pelaku harus ditindak tegas.
"Kami tidak hanya menindak secara hukum pidana, tapi kami juga menggugat secara perdata untuk ganti rugi lingkungan, termasuk mencabut izin dan sudah banyak yang kami tindak," kata Sani melalui siaran pers yang diterima Katadata.co.id, Senin (10/8).
Penyidik Balai Pengamanan dan Penegakkan Hukum (Gakkum) KLHK wilayah Kalimantan, Seksi Wilayah III Pontianak telah menyerahkan tersangka dan barang bukti serta barang bukti ke Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat. Dua tersangka dalam kasus ini adalah Muhammad Sukri Bin Kasim Direktur PT AER dan PT ABP.
Selanjutnya berkas perkara akan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Ketapang untuk disidangkan. Balai Gakkum KLHK pun akan mengawal proses persidangan agar sanksi pidana yang dijatuhkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan korporasi.
"Ini harus menjadi pembelajaran bagi pembakar hutan dan lahan lainnya," kata dia.
Dalam tuntutannya, kedua perusahaan tersebut dikenakan Pasal 98 dan atau Pasal 99 dan atau Pasal 108 Juncto Pasal 116 Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Keduanya terancam hukuman pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 3 miliar.
KLHK menyebutkan, penanganan kasus ini tindak lanjut dari hasil pemantauan satelite dan verifikasi titik panas (hotspot) di Kecamatan Benua Kayong, Matan Hilir Selatan, Kecamatan Melayu Rayak dan Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, 8 Agustus 2019.
Tim verifikasi menemukan lokasi titik api berada di areal izin usaha pertambangan (IUP) PT ABP dan PT AER. Berdasarkan temuan tim, lahan PT. AER yang terbakar seluas 100 Hektare (Ha) dan lahan PT ABP yang terbakar seluas 85 Ha.
Penyidik Balai Gakkum Kalimantan lantas menindaklanjuti temuan tersebut. Penanganan perkara karhutla ini juga bekerja sama denga Balai Gakkum KLHK Kalimantan, dengan Korwas Ditreskrimsus Polda Kalimantan Barat, Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, Kejaksaan Negeri Ketapang.
Kemudian, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Barat dan ahli karhutla dari IPB.
Sebagai informasi, Bank Dunia melaporkan total kerugian ekonomi dari kebakaran hutan di Indonesia pada tahun ini mencapai US$ 5,2 miliar atau sekitar Rp 72,9 triliun. Nilai tersebut setara dengan 0,5 % dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Estimasi tersebut berdasarkan kajian pada delapan provinsi yang terdampak kebakaran pada Juni hingga Oktober 2019. Laporan tadi diterbitkan pada Rabu (11/12). Meski begitu, analis Bank Dunia menyebutkan kebakaran terus berlanjut hingga November.
Bank Dunia memperkirakan kerusakan langsung terhadap aset mencapai US$ 157 juta atau setara Rp 2,3 triliun, sedangkan kerugian dari kegiatan ekonomi mencapai US$ 5 miliar atau setara Rp 73,7 triliun.