Memilih Antivirus yang Paling Mujarab untuk Pasien Corona
Berbagai pihak, baik pemerintah maupiun swasta, berupaya menemukan formula pengobatan Covid-19 paling efektif. Terbaru, PT Kalbe Farma Tbk yang akan memasarkan obat virus corona, yakni Covifor, antivirus berjenis remdesivir untuk pasien corona di Indonesia.
Covifor merupakan antivirus yang diproduksi Amarox Pharma Global asal India. Remdesivir awalnya digunakan untuk pengobatan Hepatitis C, namun belakangan diuji keampuhannya dalam menangani ebola hingga Covid-19.
Penggunaan remdesivir ini mengundang reaksi beragam dari kalangan dokter. Beberapa menganggap antivirus ini bisa digunakan secara darurat, apalagi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menyetujui penggunaannya untuk pasien Covid-19.
Namun ada pula yang tak terlalu yakin remdesivir bisa menjadi jalan keluar dalam penanganan gejala Covid-19. Salah satu yang memilih menunggu adalah Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Dr Ari Fahrial Syam.
Ari tak berani memastikan kemampuan Remdesivir dalam menaklukan Covid-19. Apalagi riset di beberapa institusi masih berjalan. “Kita tunggu saja, ini masih tergantung hasil riset karena masih solidarity trial,” kata Ari ketika dihubungi, Kamis (1/10).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengakui masih ada perdebatan di kalangan dokter mengenai khasiat obat antivirus tersebut. Namun berdasarkan pengalaman empiris, beberapa jenis obat itu bisa menyembuhkan pasien.
"Jadi harus ada keputusan. Daripada mati kalau tidak dikasih obat?" kata Luhut dalam rapat koordinasi penanganan Covid-19 di kantornya, Jakarta, Rabu (30/9).
Pemerintah memang berupaya terus menekan penyebaran pandemi Covid-19. Caranya adalah mendorong masyarakat menjalankan protokol kesehatan, yaitu 3M: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak. Selain itu, meningkatkan 3T, yaitu testing, tracing, treatment (tes, pelacakan, perawatan).
Nah, untuk perawatan dan menekan angka kematian Covid-19, pemerintah mengadakan dan mendistribusikan obat ke rumah sakit - rumah sakit. Ada empat jenis obat antivirus yang disiapkan. Pertama, Oseltamivir sebanyak 7,33 juta kapsul yang diproduksi di dalam negeri dan dipasok oleh PT Indofarma Tbk dan Amarok.
Kedua, Favipiravir sebanyak 3,7 juta tablet, yang mayoritas diproduksi di dalam negeri. Obat ini dipasok oleh tiga pihak yaitu PT kimia Farma Tbk, Beta Pharmacon (Avigan), dan Daewoong Infion.
Ketiga, Remdesivir sebanyak 670 ribu vial yang dipasok Kimia Farma, Amarok dan Daewoong. Keempat, Lopinavir/Ritonavir sebanyak 2,51 juta tablet yang dipasok oleh empat pihak: Kimia Farma, Abbott, Amarok, dan Sampharindo.
Dua yang Menjanjikan
Di tengah perbedaan pendapat, Guru Besar Farmakologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Zullies Ikawati mengatakan hingga saat ini tidak ada obat yang benar-benar bisa mengobati Covid-19. Namun berdasarkan uji klinis, remdesivir dan faviparivir cukup menjanjikan bagi pasien Covid-19.
Zullies menjelaskan ini lantaran kedua generik tersebut menyasar RNA-dependent RNA Polymerase yang menunjang replikasi virus Covid-19. “Jadi itu titik tangkap obat ini,” kata Zullies kepada Katadata.co.id, Jumat (2/10).
Favipiravir yang dijual dengan nama Avigan adalah antivirus yang biasa dipakai mengobati influenza, Zika, hingga rabies. Antivirus ini merupakan produksi Toyama Chemical asal Jepang.
Sedangkan Zullies menganggap oseltamivir kurang pas untuk mengatasi gejala Covid-19 karena menyasar neuraminidase, enzim yang tak dimiliki SARS-CoV-2. Namun generik yang biasa dijual dengan nama Tamiflu ini bisa efektif dalam meredakan gejala corona bersama dengan influenza. “Karena virus influenza itu memiliki neuraminidase,” kata Zullies.
Adapun lopinavir yang sedianya digunakan untuk human immunodeficiency virus (HIV) juga kurang menjanjikan dalam pengobatan Covid-19. Alasannya antivirus ini menyasar protease virus yang berbeda dari SARS-CoV-2. “Sedikit beda tempat dalam siklus hidup virus,” katanya.
Namun Zullies mengatakan pemberian empat antivirus ini bisa dilakukan dengan kombinasi obat lain seperti antibiotik dan vitamin C. Dalam gejala parah, pasien akan diberikan kortikosteroid seperti deksametason untuk menekan peradangan pada paru-paru. Meski demikian kombinasi ini juga memiliki risiko bagi tiap pasien. “Karena ada efek sampingnya juga,” kata dia.
Pendapat serupa disampaikan dokter spesialis paru. Anggota Dewan penasihat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dr Arifin Nawas mengatakan remdesivir dan favipiravir biasanya digunakan pada pasien dengan gejala berat.
Sedangkan oseltamivir dan lopinavir dipakai dalam pengobatan pasien dengan gejala sedang dan ringan. Arifin mengatakan dokter masih menggunakan oseltamivir lantaran dianggap cukup sukses dalam mengobati pasien Flu Burung.
“Empat-empatnya bisa digunakan, tergantung berat ringannya gejala,” kata Arifin kepada Katadata.co.id, Jumat (2/10).
Dia juga mengatakan kombinasi yang paling jamak digunakan adalah oseltamivir, zitromac, vitamin C, D3, B kompleks, dan Z untuk menngkatkan daya tahan tubuh, “Kalau berat diganti remdesivir dan ditambahkan Deksametason,” kata Arifin.
Namun Zullies tak mengetahui berapa tingkat keberhasilan penggunaan obat ini terhadap kemajuan kondisi pasien corona. Sedangkan produsen pertama remdesivir yakni Gilead Sciences bulan April lalu pernah menyatakan antivirus ini berdampak pada pasien bergejala berat.
Kesimpulan tersebut didapatkan dari penelitian terhadap 397 pasien bergejala berat yang dibagi jadi dua kelompok. Grup pertama adalah mereka yang dirawat 10 hari tanpa menggunakan remdesivir, kedua adalah mereka yang diberikan remdesivir dan dirawat selama lima hari.
Hasilnya, 64% pasien yang menerima remdesivir menunjukkan gejala pemulihan dalam waktu singkat atau setara dengan 53% kelompok yang tak menerima antivirus tersebut selama 10 hari.
Harga Mahal dan Paten
Meski demikian isu antivirus terbaru tak berhenti sampai efektivitasnya namun persoalan harga juga. Kalbe sempat menyatakan akan menjual remdesivir dengan harga Rp 3 juta per dosis.
Arifin mengaku heran mengapa antivirus ini dijual dengan sangat mahal. Sebagai perbandingan, harga oseltamivir 75 miligram pada situsweb belanja online hanya berkisar antara Rp 800 ribusampai Rp 900 ribu.
Sedangkan Zullies menjelaskan mahalnya remdesivir lantaran obat baru yang masih bari dikuasai lisensinya oleh beberapa pabrikan obat saja. Antivirus ini awalnya dikembangkan Gilead Sciences yang bisa memberikan lisensi produksi kepada beberapa perusahaa, seperti Global Amarox Pharma.
Jika masa paten usai, maka industri lain boleh memproduksi jenis antivirus tersebut dengan bebas. “Kalau sudah seperti itu biasanya lebih murah kalau ada generiknya,” kata Zullies.
Selain India, Tiongkok pada Februari sempat mengajukan paten penggunaan remdesivir saat Negeri Panda dihantam pandemi Februari lalu. Padahal saat itu pengembangan remdesivir masih dalam tahap uji klinis.
Kalbe sendiri tak menampik harga remdesivir yang terbilang mahal. Oleh sebab itu mereka membuka ruang pembicaraan dengan Global Amarox untuk menurunkan harga. “Masih didiskusikan antara Hetero, Amarox dan Kalbe,” kata Head of External Communications Kalbe Farma Hari Nugroho dalam pesan singkatnya.
Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan