Dampak Lingkungan dari Hilangnya Komisi Amdal di UU Cipta Kerja
Pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau omnibus law telah menuai kritik dari berbagai pihak. Tidak hanya masalah ketenagakerjaan, isu lingkungan pun menuai sorotan. Salah satu perubahan aturan yang dinilai krusial ialah penghapusan Komisi Penilai Amdal (Analisis dampak lingkungan).
Sebagaimana diketahui, UU Cipta Kerja menyebutkan penghapusan Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Adapun, Pasal 29 UU 32/2009 menyebutkan, dokumen Amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Komisi tersebut wajib memiliki lisensi dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
Sebagai gantinya, Pasal 24 UU Cipta Kerja membentuk Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat yang bertugas menguji kelayakan lingkungan hidup. Tim lembaga tersebut terdiri atas pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli bersertifikat.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, penghapusan Komisi Penilai Amdal dilakukan lantaran dokumen Amdal yang dianalisis mencapai 1.500 izin. Hal ini dinilai memperlambat proses analisis Amdal.
Menurutnya, pembentukan Lembaga Uji Kelayakan dilakukan berdasarkan evaluasi dari bertumpuknya izin Amdal. "Oleh karena itu kami lakukan penyesuaian terhadap Komisi Penilaian Amdal," kata Siti dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (8/10).
Ia pun memastikan, penyederhanaan proses tetap mempertahankan kualitas uji kelayakan lingkungan hidup. Tak hanya itu, ia memastikan pelaksanaan proses Amdal sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK).
Kemudian, hal ini juga dilakukan untuk mengatasi bottle neck akibat keterbatasan jumlah Komisi Penilai Amdal. Nantinya, Tim Uji Kelayakan bakal membantu gubernur, bupati, dan walikota dalam menerbitkan persetujuan lingkungan.
Adapun, anggota tim tersebut merupakan pakar tersertifikasi. Dengan demikian, lanjut Siti, Uji Kelayakan dilaksanakan dengan terstandarisasi serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Selain itu, jumlah Tim Uji Kelayakan akan disesuaikan dengan kebutuhan di masing-masing daerah. "Sehingga kerterlambatan Amdal akibat tumpukan beban dapat dihindari," ujar dia.
Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati mengatakan, hilangnya Komisi Penilai Amdal akan memberikan beberapa implikasi. Salah satunya, ada potensi menjauhkan akses informasi bagi masyarakat lokal maupun pelaku usaha di daerah dalam menyusun Amdal.
"Terutama di daerah yang sulit terjangkau dan/atau tidak ramah dengan akses teknologi informasi," kata dia dalam siaran pers pada Kamis (8/10).
Kemudian, beban kerja pemerintah pusat akan jauh melampaui kemampuan dan laju kerusakan lingkungan hidup.
Selain itu, ia menyoroti tidak adanya unsur masyarakat dalam Lembaga Uji Kelayakan. Ini berbeda dengan Komisi Penilai Amdal yang memiliki unsur pakar di bidang pengetahuan terkait, wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak, dan organisasi lingkungan hidup.
"Ini menghilangkan ruang untuk menjalankan partisipasi yang hakiki dan berpeluang membuka partisipasi semu yang manipulatif," ujar dia.
Sebelumnya, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Hindun Mulaika juga mempermasalahkan proses perizinan yang tidak melibatkan peran atau partisipasi masyarakat. “Bagian ini kemudian dibatasi hanya untuk mereka yang terdampak langsung. Nah, soal terdampak langsung ini menjadi perdebatan besar,” kata Hindun kepada Katadata.co.id, Selasa (6/10).
Masyarakat pun tak dapat lagi mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal dalam aturan baru tersebut. Pelemahan aturan lingkungan hidup ini, menurut Greenpeace, seharusnya tidak dilegalkan secara hukum.
Pemerintah harus belajar untuk merevisi undang-undang yang memiliki urgensi sangat penting.
Jangan sampai aturan baru justru tidak menyelesaikan masalah di lapangan. “Konflik agraria dan kasus perebutan lahan hampir terjadi proyek besar. Artinya, ada masalah yang tidak selesai,” ujarnya.