Kemitraan Kehutanan, Buah Perjuangan Masyarakat Simpang Macan Luar
Aini akhirnya bisa bernapas lega. Dia tak perlu lagi takut diusir ketika hendak berkebun di tanahnya sendiri. Petani karet itu juga sudah bisa menanam sayur-mayur dan buah-buahan untuk bahan santapan bersama keluarga di rumah. Tak hanya karet, hasil hutan andalan masyarakat adat Simpang Macan Luar lainnya seperti damar, rotan, madu, dan jernang sudah dapat dibudidayakan saat ini. Penghasilan yang sebelumnya hilang sudah dapat kembali lagi.
Awalnya, wilayah adat yang ia tempati secara turun temurun itu diduduki oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) sejak 2007 silam. “Pada 2007 sampai 2011 masa-masa paling sulit. Pada rentang tahun itu kami berhenti menanam padi, sayur, dan hasil hutan,” ungkap Aini saat wawancara daring dengan tim riset Katadata. Sejak saat itu, masyarakat Simpang Macan Luar dilarang untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan perladangan.
Aini merupakan warga masyarakat adat Simpang Macan Luar, Suku Batin Sembilan yang termasuk ke dalam Suku Anak Dalam (SAD). Ia juga Sekretaris Kelompok Tani Hutan (KTH) Maju Bersamo. Secara administrasi pemerintahan, Simpang Macan Luar merupakan bagian dari Dusun Kunangan Jaya I, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi. Jaraknya sekitar 110 km dari Kota Jambi.
Pada awalnya, PT REKI beralasan bahwa aktivitas yang telah dilakukan masyarakat Simpang Macan Luar sejak berpuluh-puluh tahun tersebut hanya klaim secara sepihak belaka. Sementara PT REKI telah diberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Restorasi Ekosistem Hutan Alam sejak akhir Mei 2010 dari pemerintah.
Ainipun berjuang mendapatkan kembali tanah leluhurnya. Ia berserta masyarakat Simpang Macan Luar lainnya meminta bantuan Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi untuk menemukan jalan keluarnya. Direktur Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi Muhammad Zuhdi atau biasa dipanggil Edi, mengamati puncak eskalasi konflik pada 2012. Oleh karenanya, CAPPA Keadilan Ekologi mulai berkirim surat kepada lembaga donor PT REKI, yaitu Bank Pembangunan Jerman (KfW).
Upaya CAPPA Keadilan Ekologi sebagai pendamping masyarakat Simpang Macan Luar menuai hasil. “KfW merespons surat tersebut dan ini membuka proses komunikasi dengan PT REKI,” ujar Zuhdi.
Sejak saat itu, konflik mulai terurai. Tak hanya berdialog dengan KfW, CAPPA Keadilan Ekologi juga melaporkan persoalan tersebut kepada Direktorat Pengaduan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Ketika komunikasi sudah cukup baik dengan PT REKI, campur tangan Direktorat PKTHA dengan memfasilitasi dialog dan pembuatan kesepakatan sangat membantu proses ini,” katanya.
Pada proses mediasi, CAPPA Keadilan Ekologi juga berupaya menyatukan berbagai bukti sejarah masyarakat Simpang Macan Luar yang sudah menempati lahan tersebut berpuluh-puluh tahun lamanya.
Fasilitator Tata Gunaan Lahan dan Pemetaan Partisipatif CAPPA Keadilan Ekologi Dedi Gustian, menjelaskan lembaganya sudah melakukan pemetaan partisipatif wilayah masyarakat Simpang Macan Luar dan mendokumentasikan cerita-cerita leluhur masyarakat adat tersebut.
Upaya pengumpulan bukti itu tersebut berdampak positif. Akhirnya kesepakatan antara masyarakat Simpang Macan Luar dengan PT REKI lahir. Nota kesepahaman (MoU) disepakati pada akhir 2015 dengan isi pembahasan meliputi ruang kelola dan jenis tanaman tertentu yang dapat ditanam.
Meski sudah lahir kesepakatan, dalam proses pemantauannya masih ditemukan banyak kendala, lantaran informasi kesepakatan hanya berputar di tingkat atas perusahaan tersebut. Akibatnya, para pendamping dan masyarakat menemukan kesulitan untuk mengelola kawasannya karena masih dihalangi oleh petugas setempat.
Kemitraan Kehutanan Jadi Jalan Keluar
Kemunculan program Perhutanan Sosial pada 2016 menjadi cahaya terang. Berbagai pihak meyakini skema Kemitraan Kehutanan pada program Perhutanan Sosial dapat menjadi jalan keluar konflik yang paling tepat. Tak lama setelah Peraturan Menteri LHK Nomor 83 Tahun 2016 tersebut keluar, seluruh pihak menyelaraskan MoU yang telah dibuat untuk mendapatkan kepastian hukum yang lebih kuat melalui skema Kemitraan Kehutanan.
Sebelum akhirnya muncul kepastian hukum melalui skema kemitraan, dokumen Naskah Kesepakatan Kerja sama (NKK) dibuat. Akhirnya, Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (SK Kulin KK) antara masyarakat Simpang Macan Luar dengan PT REKI lahir pada Februari 2019.
Berdasarkan hasil kesepakatan, masyarakat Simpang Macan Luar mendapatkan izin mengelola lahan seluas 399 hektare (ha) untuk 37 kepala keluarga (KK). Meski luas awal yang dimiliki masyarakat adat ini sekitar 830 ha, mereka tetap lega sudah dapat mengelola tanahnya sendiri. Dedi Gustian menilai upaya yang sudah dicapai sebetulnya tidak mudah.
Pasalnya, ketika merujuk regulasi skema kemitraan, masyarakat mendapat lahan seluas 2 ha untuk 1 KK. PT REKI melihat luasan yang ada tidak sesuai dengan jumlah KK ketika merujuk regulasi. Namun, para pendamping terus berupaya untuk memberi pemahaman bahwa kepemilikan lahan bukanlah milik individu. “Karena ini pendekatannya masyarakat adat, kepemilikan dan pengelolaan lahan adalah komunal,” kata Dedi.
Masyarakat setempat juga sudah dapat melakukan budidaya karet dengan teknik agroforestry sejak 2017, saat proses mendapatkan SK Kulin KK dilakukan. Budidaya karet dilakukan di Kebun Percontohan Demplot dengan lahan awal seluas 2 ha dan kini sudah mencapai 40 ha. Selain itu PT REKI berkontribusi memberi bibit budidayanya.
Setelah kesepakatan lahir, Aini dan masyarakat Simpang Macan Luar sudah dapat menghidupi kehidupannya kembali. Tanaman karet yang mereka tanam sudah menuai hasil. Getah karet dapat dihasilkan 1,5 sampai 2 kuintal per bulannya di wilayah tersebut. “Satu keluarga sudah bisa mendapat pemasukan Rp1 juta sampai Rp1,5 juta perbulan sekarang,” katanya.