Protokol Kesehatan Baru, Sertifikat Vaksin Bisa Jadi Syarat Perjalanan
Pemerintah berencana menyusun standar protokol kesehatan yang baru. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, sertifikat vaksin Covid-19 dapat menjadi instrumen dalam berbagai aktivitas, termasuk perjalanan.
Ia mengatakan, konsep protokol kesehatan itu sudah diterapkan sejumlah otoritas di negara lain, seperti Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC). CDC melakukan pelonggaran protokol kesehatan serta menambahkan sertifikat vaksin dalam standar protokol.
"Misalnya acara keagamaan, pertemuan keluarga, makan bersama. Di CDC sudah keluarkan guideline cukup lengkap. Transportasi, acara konser, berbasis sertifikat vaksin," kata Budi dalam konferensi pers virtual, Jumat (19/3).
Menurutnya, protokol kesehatan baru itu juga telah disetujui oleh otoritas lainnya, seperti The Medicines and Healthcare Products Regulatory Agency (MHRA) Londo, European Medicines agency (EMA) Uni Eropa, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Saat ini, pemerintah masih mempersiapkan protokol kesehatan tersebut untuk setiap aktivitas. Protokol baru ini akan berlaku saat jumlah penerima vaksin dinilai sudah cukup banyak.
Sementara, Satgas Penanganan Covid-19 mengatakan bahwa membuat sertifikat vaksinasi sebagai persyaratan perjalanan akan berisiko jika tidak ada tes imunitas individu bagi mereka yang telah menerima vaksin Covid-19.
"Pada prinsipnya, kami masih membutuhkan studi lebih lanjut tentang efektivitas vaksin dalam menciptakan kekebalan individu pada mereka yang telah divaksinasi," kata juru bicara Satgas Wiku Adisasmito dalam jumpa pers online di Jakarta, Kamis, seperti dikutip dari Antara.
Berapa banyak masyarakat yang sudah menerima vaksin? Simak Databoks berikut:
Dalam audiensi dengan Komisi IX DPR, Budi menyinggung wacana yang sedang berlangsung tentang mewajibkan sertifikat vaksinasi Covid-19 untuk bepergian, sehingga masyarakat tidak lagi harus memberikan tes Covid-19 negatif. “Sampai saat ini (sertifikat vaksin) masih menjadi wacana,” kata Adisasmito.
Beberapa negara seperti Tiongkok, Jepang, Inggris, dan Uni Eropa telah mengusulkan persyaratan serupa dan sedang mempersiapkan penerbitan "paspor vaksin" untuk mempromosikan perjalanan, katanya.
“Jika dikeluarkan sertifikat tanpa kajian untuk membuktikan pembentukan kekebalan individu, maka pemegang sertifikat berpotensi tertular atau menularkan virus selama dalam perjalanan,” katanya.
Sebelumnya, pemerintah sudah meminta pengguna angkutan umum membawa hasil tes usap antigen atau tes PCR negatif. Pelancong kereta api, khususnya, diminta untuk memberikan hasil tes Breathalyzer GeNose.
Menurut Menkes, antibodi individu terhadap virus corona berkembang optimal 28 hari setelah mendapat dosis kedua vaksin
Namun, mereka yang sudah mendapat vaksin masih bisa tertular COVID-19, meski mungkin hanya mengalami gejala ringan, dan menularkan virusnya ke orang lain, kata Sadikin.