Di Balik Alasan Lockheed Martin Tawarkan Pesawat F-16 ke Indonesia

Hari Widowati
31 Maret 2021, 08:30
Penerbang dari pabrik pesawat Lockheed Martin Amerika Serikat melakukan test flight perdana pesawat tempur F-16 setelah menjalani upgrade di Lanud Iswahjudi Magetan, Jawa Timur, Selasa (18/2/2020).
ANTARA FOTO/Siswowidodo
Penerbang dari pabrik pesawat Lockheed Martin Amerika Serikat melakukan test flight perdana pesawat tempur F-16 setelah menjalani upgrade di Lanud Iswahjudi Magetan, Jawa Timur, Selasa (18/2/2020).

Lockheed Martin, produsen pesawat dan peralatan militer asal Amerika Serikat (AS), membeberkan alasan di balik penawaran pesawat F-16 Blok 72 untuk Indonesia. Menurut Lockheed, F-16 Blok 72 merupakan pesawat tempur yang cocok untuk Indonesia karena biaya akuisisinya paling murah dan memiliki teknologi terbaru dari pesawat generasi ke-4,5.

F-16 Business Development Director Lockheed Martin, Mike Kelley, mengatakan Indonesia sudah mengoperasikan F-16 sehingga tidak perlu investasi tambahan untuk pelatihan dan persenjataan. Pesawat jet ini juga 25 persen lebih hemat dalam konsumsi bahan bakar dibandingkan pesawat jet tempur yang menggunakan mesin ganda (double engine).

"Pesawat F-16 memiliki 12.000 flying hours, artinya biaya operasionalnya lebih hemat karena bertahan untuk periode yang lama dibandingkan dengan pesawat tempur generasi sebelumnya," kata Mike Kelley dalam wawancara eksklusif dengan Katadata secara daring, Selasa (30/3).

Lockheed tidak gentar bersaing dengan Rusia dan Cina karena F-16 memiliki kapabilitas yang baik sehingga banyak negara ASEAN menggunakan jet tempur ini. "Tidak banyak negara yang membeli persenjataan dari Rusia. Kami menyambut persaingan di ASEAN, jika Indonesia mengevaluasi pilihannya, F-16 bisa menjadi pilihan yang sangat baik," ujarnya.

Indonesia sempat mempertimbangkan untuk membeli jet tempur Sukhoi Su-35. Namun, rencana ini menguap lantaran produk militer Rusia menghadapi sanksi perdagangan internasional dari Amerika Serikat (AS) sejak 2016. Sanksi yang bernama The Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) ini bisa berdampak serius terhadap Indonesia. Salah satu negara yang terkena sanksi ini adalah Turki. Pada pertengahan Desember 2020, AS menghapus Turki dari kemitraan global F-35 Joint Srike Fighter karena negara tersebut membeli S-400 dari Rusia.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sempat melakukan lawatan ke sejumlah negara untuk berburu alat utama sistem pertahanan (alutsista). Beberapa pesawat yang dipertimbangkan termasuk F-15 EX buatan Boeing (AS), Dassault Rafale dari Dassault Aviation (Prancis), hingga Eurofighter Typhoon bekas dari Austria. Akan tetapi, rencana pembelian Eurofighter ini batal karena mendapat banyak penolakan dari dalam negeri. Sejumlah media Austria juga menyebutkan masalah status hukum yang membuat pembelian pesawat ini sulit dilakukan.

Prabowo Minati F-35, Malah Ditawari F-16

Saat Prabowo berkunjung ke AS pada 15-19 Oktober 2020 untuk memenuhi undangan Menteri Pertahanan AS Mark T. Esper, Indonesia dikabarkan tertarik mendapatkan jet tempur F-35 buatan Lockheed Martin. Namun, keinginan ini kandas karena ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi Indonesia untuk bisa mendapatkan F-35. Duta Besar Indonesia untuk AS, Muhammad Lutfi, dalam konferensi pers November lalu menyebut Indonesia harus terlebih dahulu memiliki pesawat generasi ke-4 dan ke-4,5. "Untuk mencapai ke F-35 itu, kita harus mempunyai pesawat F-16 Blok 72. Ini pesawat F-16 termutakhir sebelum bisa mendapatkan pesawat tempur F-35," kata Lutfi, Senin (2/11/2020).

Mike Kelley membenarkan hal ini. Menurutnya, Lockheed tidak bisa menentukan tipe pesawat mana yang bisa dijual kepada Indonesia karena keputusan tersebut ada di tangan pemerintah AS. "Kami fokus mendukung pemerintah AS untuk menawarkan sistem pertahanan terbaik sesuai kebutuhan TNI Angkatan Udara. Banyak juga teknologi yang di F-35 ada di dalam F-16," kata Kelley.

Berdasarkan informasi di situs lockheedmartin.com, konfigurasi F-16 Blok 72 mencakup radar Active Electronically Scan Array (AESA) yang canggih, serangkaian infusi teknologi avionik, termasuk komputer misi dan layar prosesor, layar resolusi tinggi dengan format besar 6x8, sistem perang elektronik internal, jaringan data bervolume dan berkecepatan tinggi. Konfigurasi ini memungkinkan TNI AU menggabungkan tautan data yang canggih sehingga TNI AU dapat mengoperasikannya dalam lingkungan data yang berpusat pada jaringan. Kemampuan operasionalnya dapat ditingkatkan melalui tautan data canggih, targeting pod dan senjata, navigasi GPS yang presisi, dan Automatic Ground Collision Avoidance System (Auto GCAS).

"Dengan lebih dari 180 persenjataan, kami pikir F-16 ini yang paling versatile. Kapabilitasnya sudah di-upgrade, membuat jet ini masih relevan dalam 30-40 tahun ke depan," ujar Kelley.

USA-MILITARY
Formasi pesawat jet F-35A membentuk formasi elephant walk saat latihan di Hill Airforce Base, Utah, Amerika Serikat. (ANTARA FOTO/REUTERS/U.S. Air Force/R. Nial Bradshaw)

Ketersediaan Anggaran Pertahanan

Rencana Indonesia untuk membeli pesawat jet tempur baru juga akan ditentukan oleh anggaran tersedia. Berdasarkan data Jane's Aerospace, Defense & Security, belanja pertahanan Indonesia pada 2020 mencapai Rp 106,58 triliun atau US$ 7,4 miliar. Angka ini sudah termasuk pemangkasan anggaran akibat pandemi Covid-19. Tahun ini, anggaran pertahanan naik 7,1% menjadi Rp 118 triliun atau sekitar US$ 8,2 miliar.

Pengadaan alutsista juga mengandalkan pinjaman luar negeri dengan dana pendamping dalam rupiah yang ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurut Lockheed, tawaran pesawat F-16 akan menggunakan skema Foreign Military Sales (FMS) dari pemerintah AS. Skema ini mencakup program transfer alat persenjataan, layanan, dan pelatihan bagi mitra internasional maupun organisasi internasional.

Program FMS disediakan oleh The Defense Security Cooperation Agency (DSCA) untuk Departemen Pertahanan AS. Negara-negara yang membeli alutsista dari AS bisa menggunakan dana mereka sendiri maupun dana yang disediakan melalui program bantuan yang disponsori pemerintah AS. Dalam beberapa kasus, skema FMS ini mencakup hibah (grants) dan sewa (leases).

Reporter: Hari Widowati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...