Kejaksaan Akan Selidiki Unsur Pidana Terkait Kelangkaan Minyak Goreng
Kejaksaan Agung akan membuka penyelidikan terkait kelangkaan stok minyak goreng untuk masyarakat, untuk melihat ada tidaknya unsur pidana di balik proses distribusi salah satu bahan pokok ini. Penyelidikan dilakukan setelah Kejaksaan Agung menerima laporan dari masyarakat.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Supardi, mengatakan pihaknya baru akan memulai proses penyelidikan terkait fenomena ini. Untuk mengusut persoalan kelangkaan minyak goreng, pihaknya membentuk tim berisi 5 sampai 10 orang.
"Ya itu nanti kan kita cek dulu, ada peristiwa (pidana) apa enggak," ujar Supardi saat ditemui Katadata.co.id di Gedung Bundar pada Senin (14/3) malam.
Menurut Supardi, dasar melakukan penyelidikan terhadap masalah ini tidak hanya laporan dari masyarakat, karena pihaknya selama ini juga memantau perkembangan berita mengenai kelangkaan minyak goreng.
Sementara itu, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengakui telah mengajukan laporan kepada Kejaksaan Agung, terkait dugaan penyimpangan tata kelola ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang ia duga menyebabkan kelangkaan minyak goreng.
Laporan ini diajukan MAKI karena menduga terdapat oknum eksportir yang menyalahi aturan dengan melakukan ekspor melebihi kuota maksimal, sehingga berpotensi merugikan negara. "Saya minta kalau bisa sampai puasa ini sudah kelar kajiannya, sehingga bisa segera dilakukan treatment," ujar Boyamin kepada wartawan pada Senin (14/3).
Sebelumnya diberitakan, pelaku industri minyak goreng menemukan modus baru penyelewengan minyak goreng yang menjadi penyebab kelangkaan komoditas tersebut di pasar. Pelaku memborong minyak goreng dengan harga pemerintah untuk dijual kembali sebagai bahan baku industri pengguna minyak sawit mentah (CPO).
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyebut, terdapat oknum yang menyerbu minyak goreng pemerintah saat disalurkan oleh distributor pelat merah di pasar tradisional. Minyak goreng tersebut lalu ditawarkan ke pabrikan pengguna CPO sebagai CPO maupun stearin.
"Itu terjadi di 543 kabupaten/kota di Indonesia. Mereka tidak menjual lagi dalam bentuk minyak goreng karena akan ditangkap, makanya di-declare (sebagai) CPO atau stearin," kata Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga kepada Katadata.co.id, Senin (14/3).
Sahat mengatakan, para oknum membeli minyak goreng hasil kebijakan DMO (domestic market obligation) dengan HET dan dijual menjadi CPO maupun stearin berdasarkan harga pasar. Dari aksi tersebut, mendapatkan rata-rata margin sebesar Rp 8 ribu per liter.
Menurutnya, pabrikan pengguna CPO tidak bisa disalahkan lantaran tidak ada aturan yang melarang hal tersebut. Selain itu, Sahat berpendapat tidak ada aturan yang mengatur bahwa migor tidak boleh dinyatakan sebagai CPO maupun stearin.
"Penyaluran migor itu bocor karena dibeli dan declare sebagai CPO. Tidak ada UU yang melarang warna biru (migor) jadi hijau (CPO)," kata Sahat.
Sahat menilai, praktik ini muncul akibat disparitas harga antara CPO domestik dengan CPO internasional. Menurutnya, disparitas harga biasanya menjadi pemantik munculnya pasar gelap, seperti yang terjadi pada industri minyak sawit saat ini.
Kemendag telah menyalurkan 415,78 ribu ton atau 519,73 juta liter migor dari 38 produsen migor ke pasar atau 72,45% dari DMO yang disimpan pemerintah. Adapun konsumsi migor nasional per bulan hanya mencapai 327,32 ribu ton.
DMO merupakan syarat bagi eksportir CPO dan turunannya untuk mendapatkan izin ekspor. Pada 14 Februari - 8 Maret 2022, Kemendag telah menerbitkan 126 izin ekspor CPO dan turunnya sebanyak 2,77 juta ton untuk 54 eksportir CPO.
Kemendag mencatat empat produsen migor telah menyalurkan 268,37 juta atau 51,63% dari total migor yang telah didistribusikan. Keempat produsen tersebut adalah Wilmar Group (99,26 juta liter), PT Musim Mas (65,32 juta liter), PT Smart Tbk (55,18 juta liter), dan Asian Agri (48,59 juta liter).