PPATK Blokir 17 Rekening Senilai Rp 77,9 M Terkait Investasi Ilegal

Aryo Widhy Wicaksono
25 Maret 2022, 15:33
Ilustrasi uang di Cash Center, Sudirman, Jakarta Pusat (5/4). \"Pada kuartal I-2019, total transaksi perdagangan melalui LCS menggunakan Baht tercatat Rp 185 miliar meningkat dibandingkan periode 2018 Rp 96 miliar.
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi uang di Cash Center, Sudirman, Jakarta Pusat (5/4). \"Pada kuartal I-2019, total transaksi perdagangan melalui LCS menggunakan Baht tercatat Rp 185 miliar meningkat dibandingkan periode 2018 Rp 96 miliar.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terus memantau aliran dana dari investor ke berbagai pihak terkait produk investasi ilegal. Pada Kamis (24/3) PPATK kembali memblokir 17 rekening dengan nilai Rp 77,945 miliar, yang diduga berasal dari tindak pidana investasi ilegal.

“Sehingga total penghentian sementara transaksi yang diduga berasal dari tindak pidana berupa investasi ilegal sebesar Rp502,88 miliar dengan jumlah 275 rekening,” kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dikutip dari Antara, Jumat (25/3).

Berdasarkan hasil analisis PPATK, modus aliran transaksi tersebut beragam, ada yang disimpan dalam bentuk aset kripto, menggunakan rekening milik orang lain, dan kemudian dipindahkan ke berbagai rekening di beberapa bank agar mempersulit penelusuran.

Sebagai lembaga sentral dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Indonesia, PPATK terus berkoordinasi dengan Financial Intelligence Unit (FIU) negara lain.

PPATK memiliki kewenangan untuk menghentikan sementara transaksi selama 20 hari kerja, dan selanjutnya berkoordinasi serta melaporkan kepada penegak hukum transaksi mencurigakan dalam nominal besar tersebut, terkait dengan investasi yang diduga ilegal.

Selain itu, pelaporan yang disampaikan pihak pelapor (Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia Barang dan Jasa) ke PPATK juga dimaksudkan untuk menjaga pelapor dari risiko hukum dan reputasi. Sebab, tindakan ini dapat mencegah pihak pelapor dimanfaatkan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku kejahatan untuk mencuci hasil tindak pidana.

Dalam Pasal 29 Undang-undan No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan TPPU, disebutkan secara tegas bahwa pihak pelapor tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan kepada PPATK.

Ivan menambahkan, memasuki usia 20 tahun sejak berdiri pada 17 April 2022, PPATK terus berkomitmen dalam mencegah dan memberantas TPPU dan tindak pidana pendanaan untuk terorisme (TPPT).

“PPATK sudah berkiprah selama 2 dekade sejak 17 April 2002. Dalam kurun waktu itu, PPATK fokus mencegah dan memberantas TPPU dan TPPT dalam berbagai kasus di tengah masyarakat. Selanjutnya, ada beberapa hal yang akan dilakukan PPATK ke depan, yaitu pencegahan dan pemberantasan TPPU dari hasil kejahatan lingkungan (green financial crime/GFC),” tuturnya.

Berdasarkan data Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang dirilis Juli 2021, dari data INTERPOL dan Norwegian Center for Global Analysis (RHIPTO), kejahatan lingkungan menjadi salah satu kejahatan utama internasional, yang nilainya mencapai 281 miliar dolar Amerika Serikat atau setara Rp1,54 triliun setiap tahunnya.

Ivan menegaskan bahwa, komitmen yang kuat dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU dan TPPT telah mampu mengangkat reputasi Indonesia menjadi sejajar dengan negara-negara maju, yang selanjutnya dapat memperkuat perekonomian nasional dan membuat masyarakat semakin sejahtera.

Reporter: Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...