Literasi Digital untuk Pacu Produktivitas Pertanian
Pandemi Covid-19 terbukti mengakselerasi adopsi teknologi pada hampir semua bidang aktivitas manusia. Namun, kondisi ini kurang tampak di sektor pertanian.
Mengutip pernyataan peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Azizah Fauzi yang dimuat di AntaraNews (16/3/22), digitalisasi sektor pertanian dapat mempercepat adopsi teknologi digital. Menurut dia, rendahnya produktivitas terus menjadi salah satu masalah yang dihadapi sektor pertanian Indonesia.
Penggunaan teknologi digital di sektor pertanian diharapkan mampu membuat hasil tani menjadi lebih baik, serta dapat meningkatkan daya saing petani Indonesia terutama di dalam rantai pasok global.
Pasalnya, kehadiran teknologi digital di bidang pertanian tidak sekadar berdampak terhadap hasil panen yang lebih melimpah. Selain itu, produk yang dihasilkan juga dinilai berkualitas lebih baik, pasalnya teknologi yang ada dapat mengurangi penggunaan air, pupuk, bahkan pestisida.
Azizah mencontohkan adopsi teknologi di hulu pertanian dapat berupa penerapan Internet of Things (IoT). Dengan IoT, petani dapat lebih mudah dalam mendeteksi kondisi tanah, cuaca, pemantauan hama, dan aktivitas pertanian lainnya.
Sementara di hilir pertanian, adopsi teknologi dapat membantu petani dalam memperluas pasar. Kehadiran teknologi dapat menghubungkan petani langsung kepada konsumen dan mengurangi ketergantungan petani terhadap tengkulak.
Ketergantungan tersebut membuat petani kehilangan daya tawar untuk menentukan harga. Sementara dengan pemanfaatan teknologi, petani mampu memantau harga komoditas secara lebih akurat dan transparan.
Keuntungan lain dari adopsi teknologi di sektor pertanian adalah terwujudnya kemudahan bagi para petani untuk mendapatkan modal. Studi McKinsey pada 2020 menunjukkan bahwa penggunaan teknologi di sektor pertanian dapat meningkatkan hasil ekonomi hingga US$ 6 miliar per tahun.
Pada sisi lain, adopsi teknologi di sektor pertanian memiliki sejumlah tantangan tersendiri. Tantangan pertama ialah belum diprioritaskannya adopsi teknologi di bidang pertanian oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari Rencana Strategis Kementerian Pertanian (Kemtan) 2020 - 2024 yang belum spesifik menjabarkan strategi untuk adopsi teknologi digital.
Tantangan kedua adalah belum meratanya infrastruktur digital di Indonesia dan hal ini menjadi kendala, terutama bagi petani di daerah terpencil. Mengutip data Kominfo, saat ini terdapat 9.113 wilayah yang terus blank spot di daerah 3T dan 3.345 titik di wilayah non 3T, sehingga total ada 12.548 wilayah.
Tantangan lain adalah rendahnya literasi digital di kalangan petani. Mayoritas petani di Indonesia berusia 45 tahun ke atas dan hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar. Hal ini membuat proses adopsi teknologi menjadi sulit.
Meski demikian, kabar baiknya adalah berdasarkan data BPS pada 2020, terdapat kenaikan angkatan muda yang bekerja di sektor pertanian dari 18,43 persen menjadi 20,62 persen. Dari jumlah kenaikan tersebut sebanyak 85,62 persen di antaranya merupakan pengguna internet dan berpeluang menjadi early adopter teknologi digital di sektor pertanian.
Penguatan literasi digital masyarakat pun menjadi krusial apabila Indonesia ingin memaksimalkan potensi SDM yang ada di bidang pertanian. Terkait hal ini, Kominfo bekerjasama dengan Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi menginisiasi Program Nasional Literasi Digital bertajuk Indonesia Makin Cakap Digitalyang berfokus pada edukasi masyarakat.
Edukasi literasi digital oleh Kominfo berfokus pada empat pilar yakni digital skill, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Lebih jauh terkait literasi digital, Anda bisa mengunjungi info.literasidigital.id.