Candu Teknologi Beserta Opsi Terapinya
Penggunaan ponsel pintar atau smartphone semakin meningkat setiap tahun, khususnya untuk berkelana di internet. Hal ini diperoleh dari laporan “Digital 2022 April Global Statshot Report” yang diterbitkan Hootsuite dan We Are Social.
Diketahui bahwa hampir seluruh warganet atau sebanyak 94,9 persen dari pengguna internet di Indonesia, mengakses internet melalui ponsel pintar.
Sejauh ini, berdasarkan laporan Hootsuite dan We Are Social tersebut, Indonesia adalah negara kedua yang paling lama berselancar di internet pakai smartphone. Tepatnya, rata-rata durasi internet harian para pengguna di Indonesia sekitar 8 jam 8 menit.
Penggunaan gawai semakin populer seiring dengan banyaknya manfaat yang bisa diperoleh, terlebih jika didukung akses internet. Namun, banyak anak-anak maupun orang dewasa yang menggunakan gadgetnya secara berlebihan sehingga menimbulkan risiko kecanduan.
Laporan App Annie pada kuartal III 2021 menyebutkan, pengguna ponsel pintar di Indonesia bisa menghabiskan rata-rata 5,5 jam sehari untuk mengoperasikan berbagai aplikasi. Angka ini adalah yang tertinggi di dunia.
Jumlah tersebut cukup jauh dari rekomendasi para pakar terkait durasi maksimal pemakaian smartphone sehari-hari. Oleh karena itu, orang dewasa disarankan membatasi penggunaan gawai di luar pekerjaan maksimal dua jam per hari. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir risiko kecanduan.
Candu atas teknologi bisa dikategorikan sebagai bentuk gangguan, baik dalam hal penggunaan internet, perangkat pintar, maupun konsol gim. Kondisi ini bisa disebabkan oleh kecenderungan genetik, masalah psikologis, hingga masalah sosial.
Terdapat beberapa jenis kecanduan teknologi, di antaranya kecanduan smartphone, kecanduan video game, judi daring, media sosial, serta ketergantungan terhadap internet.
Salah jenis kecanduan teknologi tersebut, yakni candu atas gim, ditetapkan World Health Organization (WHO) sebagai gangguan medis pada 2019. Hal ini dimuat dalam laporan International Classification of Diseases (ICD) yang dirilis 25 Mei 2019, seperti dikutip dari Katadata.
Keputusan WHO itu diambil berdasarkan bukti-bukti dan kesepakatan di antara para ahli sedunia. Terdapat kesimpulan yang menyebutkan, penderita kecanduan gim umumnya mengalami gangguan kontrol pada dirinya. Para pecandu gim memiliki kecenderungan lebih memprioritaskan gim daripada tanggung jawab harian, termasuk ke sekolah atau bekerja dan bersosialisasi.
Sementara itu, adiksi lainnya seperti penggunaan smartphone dan media sosial secara berlebihan juga mungkin terjadi pada banyak orang tanpa mereka sadari. Pasalnya, mengecek dan scrolling media sosial menjadi aktivitas populer, setidaknya dalam satu dekade terakhir.
Meskipun kebanyakan orang yang menggunakan media sosial tidak terbilang problematik, ada sebagian kecil dari penggunanya yang menjadi kecanduan terhadap medsos dan menggunakannya secara eksesif dan kompulsif.
Orang yang memiliki perilaku kecanduan sosial media dapat terlihat dari ciri-ciri seperti, terlalu khawatir terhadap apa yang terjadi di sosial media, memiliki hasrat yang tidak terkontrol untuk tetap aktif di sosial media, dan menghabiskan banyak waktu dan usaha pada sosial media dibandingkan dengan aspek penting lain di dalam kehidupan.
Penanganan kecanduan teknologi akan berbeda pada setiap orang dan fasilitas yang digunakan. Sebab, gangguan ini disebabkan oleh beberapa hal, mulai dari masalah belajar, kekurangan penghargaan, dan perilaku impulsif sehingga masalah ini tak mudah ditangani.
Sampai saat ini belum ada standar baku yang digunakan untuk menangani masalah kecanduan teknologi. Tapi, ada beberapa opsi terapi yang direkomendasikan para pakar medis dan peneliti.
Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Terapi ini merupakan psychotherapy terstruktur. Bagi orang yang menggunakan teknologi sebagai pelarian dari masalah seperti kurangnya dukungan keluarga atau lingkungan sosialnya, terapi ini bisa menjadi pilihan yang tepat. CBT terbukti cukup efektif dalam menangani sejumlah gangguan, seperti kecemasan, depresi, dan kecanduan.
Motivational Enhancement Therapy (MET)
Terapi ini berbentuk konseling yang biasanya digunakan untuk membantu orang melawan kecanduan terhadap obat atau mengalami gangguan perilaku. Fokus pada MET adalah untuk menciptakan tujuan dan meningkatkan motivasi melalui perubahan internal.
Exposure Therapy
Terapi ini merupakan bentuk psikoterapi yang biasa digunakan untuk membantu orang menghadapi ketakutannya. Pasien dilarang menggunakan teknologi selama terapi. Setelah beberapa sesi, pasien secara perlahan mengubah ketakutan mereka yang notabene pemicu penggunaan teknologi secara berlebihan.
Medication Assisted Treatment (MAT)
Terapi ini menggunakan obat-obatan untuk membantu pasien melawan kecanduannya. Hal ini juga umum dilakukan pada pasien yang memiliki gangguan kecemasan dan depresi. Penggunaan obat dalam terapi ini disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pasien. Terapi ini cukup efektif dalam menangani gangguan perilaku dan kesehatan mental jika diiringi dengan psikoterapi.
Ada perbedaan cukup jelas di antara penggunaan teknologi secara sehat dengan yang berlebihan. Yang pasti, langkah preventif merupakan hal krusial. Ini dapat dimulai dengan memantau penggunaan perangkat teknologi, hingga mencari bantuan ketika penggunaan teknologi tersebut sudah mulai berlebihan.
Seiring dengan penetrasi smartphone yang sedemikian besar maka dibutuhkan edukasi literasi digital yang optimal. Hal ini bertujuan agar para pengguna memahami cara bijak pemanfaatannya ponsel dan internet. Dengan demikian, kita dapat menciptakan ruang digital yang aman, nyaman, dan produktif.
Lebih jauh soal literasi digital, Anda bisa mengakses info.literasidigital.id untuk mendapatkan produk literatur lainnya terkait literasi digital maupun tips-tips lainnya, untuk mengantisipasi dampak dari penggunaan teknologi.