Pandemi, Akselerasi Digitalisasi, dan Tantangan Kecemasan Teknologi
Pandemi Covid-19 menggeser tata kehidupan masyarakat khususnya dari segi pemanfaatan teknologi. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat, tingkat penetrasi internet pada 2020 sekitar 73,7 persen, sedangkan peningkatannya 8,9 persen atau 25,5 juta jiwa.
Angka tersebut setara dengan 196,7 juta pengguna internet, dari total 266,9 juta penduduk Indonesia. Dan mayoritas penggunanya mengakses internet selama lebih dari delapan jam per hari.
Santitarn Sathirathai selaku Group Chief Economist Sea di Singapura menyatakan, peningkatan penggunaan alat digital di antara pemuda terjadi di negara-negara Asia Tenggara selama pandemi.
“Covid-19 benar-benar akselerator hebat. Benar-benar telah membantu mempercepat transformasi digital yang telah kita bicarakan selama bertahun-tahun," katanya dalam webinar peluncuran WEF Youth Survey 2020 yang diselenggarakan World Economic Forum dan IDN Times.
Sathirathai juga memaparkan bahwa hampir dari 70.000 responden berusia 16 - 35 tahun, sebanyak 87 persen di antaranya menyatakan mereka meningkatkan penggunaan setidaknya satu alat digital selama pandemi. Dan, aplikasi terpopuler yang digunakan adalah media sosial, aplikasi belajar daring, belanja online, serta pertemuan virtual.
Meskipun penggunaan internet cukup tinggi di Tanah Air, masyarakat belum sepenuhnya dapat menguasai perkembangan teknologi khususnya di dunia kerja. Riset Amazon Web Services, Inc. (AWS) dan firma konsultan bidang strategi dan ekonomi, AlphaBeta, mengungkapkan bahwa hanya 19 persen dari angkatan kerja di Indonesia memiliki keahlian di bidang digital.
Sementara itu, sebanyak 59 persen pekerja Indonesia belum mengoptimalkan kecakapan di bidang komputasi awan (cloud). Padahal, keahlian ini sangat dibutuhkan pada 2025.
“Rata-rata pekerja Indonesia perlu mengembangkan tujuh kecakapan digital mutakhir dalam kurun waktu lima tahun ke depan agar mampu selaras dengan dinamika perkembangan dan kebutuhan teknologi,” menurut isi laporan yang dikutip dari siaran pers, Selasa (23/2/2021).
Survei dalam laporan Amazon dan AlphaBeta ini berjudul “Unlocking APAC’s Digital Potential: Changing Digital Skill Needs and Policy Approaches”, dilakukan terhadap 3.000 pekerja digital di Asia Pasifik. Lebih dari 500 di antaranya di Indonesia.
Penguasaan teknologi memang menjadi hal yang krusial, apalagi pada masa pandemi dan normal baru. Pasalnya, meski penggunaan teknologi membantu kehidupan manusia, tak sedikit dampak buruk yang ditimbulkan teknologi bagi kesehatan mental pengguna.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Elizabeth Kristi Poerwandari mengatakan, era industri 4.0 turut berpengaruh kepada psikologi manusia termasuk kehidupan pribadi dan sosialnya.
”Permasalahan kesehatan mental itu terkait dengan bagaimana manusia bereksistensi dengan alam teknologi,” kata Kristi dalam acara pengukuhan Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, secara daring, di Universitas Indonesia, Sabtu (16/10/2021), mengutip Kompas.
Lebih mengerucut, terkait persoalan kesehatan mental, terdapat beberapa gangguan yang semakin intens muncul akibat penggunaan teknologi, seperti stres, depresi, dan kecemasan. Terkait cemas, pada dasarnya kecemasan atau anxiety tak lain suatu keadaan khawatir atas besarnya kemungkinan hal buruk terjadi. Cemas pun sebetulnya bukan penyakit melainkan sebuah gejala. Dan ini lazim muncul sebagai bentuk reaksi wajar terhadap tekanan.
Dan, ya, Ketidakmampuan menggunakan teknologi dapat menciptakan technology anxiety atau rasa cemas yang memicu perasaan tak percaya diri dalam aktivitas memanfaatkan teknologi digital. Kecemasan ini bila tak ditangani dapat mengganggu kegiatan sehari-hari, misalnya berupa FOMO (fear of missing out) alias takut ketinggalan dan FOBO (fear of being offline).
Mengatasi Technology Anxiety
Rasa tak percaya diri dalam menggunakan teknologi digital dapat diatasi melalui peningkatan kecakapan digital itu sendiri. Head of Business Development IoT & Smart City Indosat Ooredoo Hendra Sumiarsa memberikan saran, untuk mengatasi kurangnya kemampuan mengaplikasikan teknologi, khususnya bagi para pekerja, bisa ditempuh dengan meningkatkan kapasitas atau upgrading skill.
"Literasi digital yang benar, mampu memanfaatkan teknologi untuk inovasi. Jadi bukan inovasi di-drive oleh teknologi tapi inovasi yang men-drive teknologi. Itu yang harus kita lakukan. Anak-anak muda kita punya keterampilan dalam memanfaatkan teknologi," ujar Hendra dalam pemberitaan media.
General Manager CV Enca Production Dita Maulinda turut memberikan tips untuk mengatasi rasa tidak percaya diri akibat ketertinggalan penguasaan teknologi. Menurutnya, salah satu caranya ialah dengan tidak malu bertanya kepada siapapun terutama kepada pakar yang mengetahui kemajuan teknologi baik dalam segi penggunaan hingga hal teknis terkait program atau aplikasi terbaru.
Ia juga mengingatkan supaya belajar sungguh-sungguh agar dapat mengatasi ketidakmampuan menggunakan teknologi. “Dengan kesungguhan, akan menghasilkan kemampuan yang lebih baik dari pada yang tidak memiliki tekad,” katanya dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 untuk Kabupaten Bangkalan.
Menurutnya, saat mempelajari produk teknologi, seperti komputer, ponsel, maupun tablet, hal yang sulit akan menjadi mudah ketika mampu dan terbiasa mengaplikasikan teknologi tersebut untuk kehidupan sehari-hari. Tentu ini perlu disertai pemahaman literasi digital secara memadai, mencakup aspek cakap digital, budaya digital, etika digital, dan keamanan digital.
Literasi digital dapat menjadi pegangan bagi publik untuk menjalani kehidupan pada era transformasi digital ini sehingga terhindar dari kecemasan teknologi itu sendiri. Informasi lebih lanjut terkait literasi digital ini dapat Anda akses melalui info.literasidigital.id.