Bentuk Tim, Jokowi Selesaikan Kasus HAM Berat Lewat Jalur Non-Yudisial
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan pemerintahannya akan serius menangani kasus-kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di masa lalu. Pemerintahannya bakal mengupayakan penuntasan beragam kasus tersebut melalui mekanisme di luar jalur pengadilan.
Hal ini dilakukan Presiden dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keprres) mengenai Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. "Telah saya tanda tangani," ujar Jokowi, dalam Sidang Bersama DPR-DPRD 2022, Selasa (16/8).
Tak hanya itu, Presiden juga mengajukan kembali Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Rancangan ini kembali diajukan karena Mahkamah Konstitusi pada 2006 menyatakan Undang-Undang 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Selain mengajukan RUU, Jokowi juga menyatakan pemerintah akan terus berupaya menindaklanjuti temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait kasus-kasus pelanggaran HAM berat. "RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sedang dalam proses pembahasan. Tindak lanjut atas temuan Komnas HAM masih terus berjalan," kata Jokowi.
Ikrar menyelesaikan pelanggaran HAM Berat merupakan janji Jokowi sejak dirinya mencalonkan diri pada Pemilihan Presiden 2014.
Sebelumnya Presiden Jokowi pada beberapa kesempatan selalu menuturkan komitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui langkah yudisial. Lembaga yang mendapatkan amanat adalah Kejaksaan Agung.
Seperti halnya dalam pidato pada 14 Desember 2020 lalu. Kala itu, Jokowi menyatakan komitmen penuntasan masalah HAM masa lalu harus terus dilanjutkan. "Kemajuan konkret dalam upaya penuntasan pelanggaran HAM masa lalu perlu segera terlihat. Kerja sama dengan pihak-pihak terkait, terutama dengan Komnas HAM, perlu untuk diefektifkan," tegasnya di Istana Negara, Jakarta.
Dari 12 kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang diusut pemerintah, baru kasus di Paniai, Papua, yang telah naik ke tahap penyidikan di Kejaksaan Agung. Sementara sisa 11 kasus lainnya belum mendapatkan kejelasan hukum.
Beberapa kasus tersebut di antaranya dugaan Pembunuhan Massal 1965, Kasus Penembakkan Misterius (Petrus) selama periode 1981-1983, Kasus Talangsari, Lampung, 1989, Penghilangan Orang Secara Paksa selama periode 1997-1998, serta Peristiwa Trisaksi, Semanggi I, dan Semanggi II pada 1999.
Kemudian, kasus Rumah Geudong Aceh 1998 yang terjadi selama masa konflik di Aceh. Kemudian Kasus Kerusuham Mei 1998, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet selama periode 1998-1999, kekerasan aparat TNI pada Peristiwa Simpang PT Kertas Kraft Aceh (KKA) pada 3 Mei 1999 di Aceh Utara, Peristiwa Wasior dan Wamena pada 2001, Peristiwa Jambo Keupok Aceh pada 2003, serta Pembunuhan Munir.
Sementara terkait RUU KKR, Mahkamah Konstitusi pada 7 Desember 2006 menyatakan Pasal 27 pada Undang-Undang tersebut tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada korban, karena pemberian kompensasi dan rehabilitasi bergantung terhadap amnesti yang belum pasti. Pemberian amnesti sepenuhnya merupakan kewenangan Presiden setelah mendengar pertimbangan DPR.
Tak hanya itu, Mahkamah juga menyebutkan, ketentuan Pasal 27 UU KKR tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada pelaku, karena tidak terdapat jaminan bahwa pelaku akan dengan sendirinya memperoleh amnesti setelah mengakui kesalahannya.
Pada kesempatan ini, Jokowi juga menegaskan bahwa rasa aman dan rasa keadilan harus dijamin negara, khususnya oleh aparat penegak hukum dan lembaga peradilan.
Salah satu wujud realisasinya adalah pengungkapan sejumlah kasus korupsi, seperti kasus korupsi besar di beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu di Jiwasraya, ASABRI, dan Garuda. "Berhasil dibongkar dan pembenahan total telah dimulai," jelas Presiden.
Meski telah mengungkap beberapa kasus korupsi yang memiliki kerugian negara yang besar, Jokowi memastikan, pemerintah terus mengejar penyelamatan aset negara yang tertunda. Upaya pemberantasan korupsi ini juga sudah menunjukkan hasil dengan membaiknya Skor Indeks Persepsi Korupsi dari Transparansi Internasional. "Naik dari 37 menjadi 38 di tahun 2021," ucap Jokowi.
Selain itu, Indeks Perilaku Anti Korupsi dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga meningkat, dari 3,88 ke 3,93 di tahun 2022 "Untuk itu Polri, Kejaksaan, dan KPK terus bergerak," tukas Jokowi.
Meski skor indeks korupsi Indonesia telah membaik pada 2021, tetapi pada 2019 Indonesia memiliki skor 40, dan berada di urutan ke-85 dari 180 negara. Naik dari urutan ke-89 pada 2018.