Kasus Venna Melinda, Apakah KDRT Bisa Diusut Bila Laporan Dicabut?
Artis sekaligus mantan anggota DPR Venna Melinda baru-baru ini melaporkan suaminya aktor Ferry Irawan ke kepolisian. Laporan itu terkait kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mengakibatkan mantan Putri Indonesia 1994 itu harus dirawat di rumah sakit Surabaya.
Kuasa hukum Venna Melinda Reza Mahastra mengatakan Ferry diduga sering melakukan KDRT terhadap kliennya. Namun, Venna sengaja menutupinya karena menganggapnya sebagai aib rumah tangga.
Setelah mengalami KDRT di hotel daerah Kediri pada Minggu (8/1), barulah Venna melaporkan perbuatan suaminya ke polisi. "Ini tidak ada jalan lain selain melaporkan ke kepolisian, karena tidak mungkin main hakim sendiri. Ini buat pelajaran kita semua," ujar Reza yang juga merupakan adik Melinda di Mapolda Jatim, Surabaya, Selasa (10/1).
Reza mengatakan, Venna berkomitmen tak akan menarik laporannya. Kasus KDRT seringkali berakhir dengan pencabutan laporan, seperti yang pernah dilakukan Lesti Kejora.
Jenis tindak pidana dibedakan berdasarkan tata cara pemrosesannya. Ada dua jenis delik, yaitu delik biasa dan delik aduan.
Di dalam delik biasa, suatu perkara dapat diproses tanpa adanya laporan dari korban. Sedangkan delik aduan adalah delik yang hanya dapat diproses apabila terdapat aduan atau persetujuan dari korban.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pencabutan aduan yang berujung pada penghentian proses pemidaan hanya dapat terjadi terhadap tindak pidana yang masuk kategori delik aduan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri telah memberikan pembatasan-pembatasan bagi pencabutan laporan atas delik aduan. Pasal 74 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa pengaduan hanya dapat dilakukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia.
Kemudian Pasal 75 KUHP menyatakan bahwa penarikan kembali pengaduan atas suatu delik hanya dapat dilakukan paling lambat tiga bulan setelah diajukan. Secara harfiah, apabila tenggat waktu tersebut telah terlampaui, maka pencabutan aduan tidak lagi dapat dilakukan.
Namun demikian, terdapat sebuah preseden dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1600K/Pid/2009 yang memungkinkan pencabutan laporan atas delik aduan sekalipun batas waktu 3 bulan telah terlampaui. Dengan demikian, pencabutan laporan atas delik aduan tetap dapat dilakukan tanpa batas waktu tertentu.
Dengan demikian, terdapat kemungkinan bahwa proses pidana atas kasus tersebut dapat dihentikan. Namun dalam konteks KDRT, perlu dipastikan bahwa tindakan KDRT yang dialami termasuk dalam jenis delik ini.
Ketentuan-ketentuan pidana atas KDRT sendiri diatur di dalam UU PKDRT. Dalam Pasal 1 angka 1 UU PKDRT dijelaskan bahwa KDRT adalah:
Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Adapun ruang lingkup rumah tangga menurut Pasal 2 ayat (1) UU PKDRT terdiri atas:
- Suami, istri, dan anak;
- Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
- Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Berbagai bentuk kekerasan yang dikategorikan sebagai KDRT menurut Pasal 5 UU PKDRT terdiri atas:
- Kekerasan fisik;
- Kekerasan psikis;
- Kekerasan seksual; dan
- Penelantaran rumah tangga.