Anak Muda Prioritaskan Isu Politik dan Pemberantasan KKN
Generasi muda Indonesia menaruh perhatian besar pada masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Para pemuda berharap, dunia politik di Indonesia jauh dari praktik KKN.
Studi bertema Next Generation Indonesia yang dipublikasikan British Council tahun lalu menunjukkan, 33 persen responden menilai pemerintahan era Presiden Joko Widodo lebih efektif dibanding pemerintahan era sebelumnya.
Survei yang dilakukan terhadap 3.093 responden itu menyimpulkan, kaum muda merasa pemerintah telah melakukan beberapa perbaikan.
“Ketika ditanya tentang peningkatan dalam sesi kualitatif kami, kaum muda mencatat kemajuan dalam pembangunan infrastruktur dan berharap tingkat pengangguran akan menurun, seiring pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19,” tulis laporan tersebut.
Tercatat, 42 persen responden menilai kasus korupsi merupakan isu prioritas yang harus segera diatasi. Para responden mengaku prihatin atas KKN yang sudah mengakar kuat dalam jalinan sistem politik Indonesia. KKN dipandang sebagai kebiasaan yang sudah lekat dalam praktik politik di tingkat lokal maupun nasional.
Selain itu, anak muda Indonesia juga melihat banyak politisi yang tidak menepati janji kampanye, menerima suap, dan tidak bekerja mewakili kepentingan rakyat. Kondisi ini membuat anak muda skeptis terhadap dunia perpolitikan. Namun, hal ini tidak lantas mendorong pemuda menjadi apatis.
Hasil survei menunjukkan, 32 persen responden merasa tidak terlibat dalam dunia politik praktis. Sementara, 60 persen responden netral terhadap politik, dan 8 persen menggambarkan diri mereka terlibat aktif dalam dunia perpolitikan.
Meski banyak kaum muda yang menganggap diri mereka tidak terlibat langsung dalam dunia politik, namun nyatanya mereka kerap terlibat dalam percakapan tentang isu-isu politik. Media sosial menjadi sarana yang sering dimanfaatkan Gen Y dan Gen Z untuk menyuarakan aspirasinya.
Seorang responden pria yang tinggal di Surabaya, Jawa Timur, berpendapat bahwa anak muda seharusnya lebih banyak terlibat secara politik.
“Bukan berarti kita sebagai anak muda harus ikut partai politik, tetapi kita sebagai anak muda dengan berbagai passion dan latar belakang pendidikan harus memastikan bahwa kita melakukan sesuatu jika ada ketidaksesuaian antara keputusan pejabat elit dengan kebutuhan masyarakat,” katanya, seperti dikutip dari laporan Next Generation Indonesia.
Pria 23 tahun itu mencontohkan, keterlibatan kaum muda dalam dunia politik tergambar dalam aksi demonstrasi mahasiswa. Misalnya, mahasiswa yang menyuarakan aspirasi terhadap isu omnibus law, kelangkaan minyak goreng, dan mahalnya harga bahan bakar minyak.
Namun, pada saat bersamaan, para responden juga tidak tahu cara masuk ke ranah politik. Butuh uang dan koneksi pribadi untuk sukses dalam bidang tersebut.
Tetap Optimistis
Meski skeptis terhadap sistem politik saat ini, kaum muda yakin generasi penerus mampu membawa perubahan positif bagi negara. Mereka percaya, politisi muda memiliki sistem nilai yang lebih baik.
Politisi muda juga diyakini dapat bekerja dengan lebih optimistis, cerdas, dan berpikir kritis. Para responden pun berharap keterwakilan pemuda dalam dunia politik dapat terus berlanjut.
Riset British Council mengusulkan beberapa rekomendasi agar anak muda lebih aktif terlibat dalam dunia politik. Di antaranya, pembukaan ruang yang melibatkan generasi muda. Misalnya dengan penciptaan forum-forum yang membahas pembuatan kebijakan bersama anak muda.
Keterlibatan pemuda juga dapat ditingkatkan dengan pembuatan program ekstrakurikuler pada semua tingkat pendidikan. Ekstrakurikuler tersebut dibuat untuk mempromosikan minat pemuda di bidang politik. Selain itu, riset British Council juga mendorong agar pemerintah menanggapi keprihatinan kaum muda terhadap kasus korupsi secara serius.
Pada sisi lain, kaum muda juga perlu dibekali keterampilan untuk memahami sumber-sumber berita yang valid dan tepercaya. Kemampuan menyaring informasi ini sangat penting, seiring maraknya berita palsu yang bertebaran di media sosial.
Riset Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Katadata Insight Center terhadap 10.000 responden menunjukkan, mayoritas responden menganggap bahwa keberadaan berita atau informasi yang tidak sesuai fakta adalah permasalahan serius.
Riset yang terangkum dalam laporan bertajuk Status Literasi Digital di Indonesia 2022 itu menunjukkan, 45 persen responden ragu terhadap kemampuan mereka dalam mengidentifikasi hoaks. Hanya 32 persen yang merasa yakin atau pun sangat yakin dapat mengidentifikasi berita palsu.
Jika ditilik lebih lanjut, responden Gen Y dan Gen Z lebih yakin akan kemampuannya dalam mendeteksi hoaks (33 persen), dibanding Gen X (28 persen). Sementara itu, 17,2 persen responden Gen Y dan Gen Z yang pernah terpapar hoaks seputar isu politik cenderung memercayai informasi yang mereka dapatkan.