Sengketa Hotel Sultan, Pemerintah: Sertifikat Tanahnya Sudah Mati
Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno atau PPKGBK menyatakan sertifikat tanah berdirinya Hotel Sultan yang dimiliki PT Indobuildco sudah mati. Hal tersebut tertuang dalam dokumen hak pengelolaan tanah atau HPL Nomor 1/Gelora.
Sedangkan sertifikat tanah Hotel Sultan tertuang dalam hak guna bangunan atau HGB Nomor 26/Gelora dan HGB Nomor 27/ Gelora. Kedua sertifikat tersebut masing-masing telah berakhir pada 3 Maret 2023 dan 3 April 2023.
Kuasa Hukum PPKGBK Kharis Sucipto menyebut dokumen HPL No. 1/Gelora mengatur HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora akan menjadi bagian HPL No. 1/Gelora saat masa berlakunya habis.
"Kami berharap fakta-fakta hukum berkaitan dengan HPL No. 1/Gelora dilihat dengan lengkap secara kronologis dan fakta-fakta hukumnya jangan dipenggal-penggal," kata Kharis di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (30/10).
Ia meyakini tanah tempat Hotel Sultan berdiri, yang memakai dua sertifikat lama, kini telah menjadi barang milik negara. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Kementerian Keuangan yang diterbitkan pada 2010.
Dengan demikian, kegiatan yang dilakukan PPKGBK sejak April 2023 telah sah secara hukum. Pada saat yang sama, Kharis meminta agar PT Indobuildco merelakan hilangnya hak atas tanah tempat Hotel Sultan berdiri.
Di sisi lain, Indobuildco menggugat pemerintah terkait upaya pemerintah mengosongkan lahan Hotel Sultan. Perusahaan milik Pontjo Sutowo ini menganggap Hak Guna Bangunan No. 26/Gelora dan No. 27/Gelora yang ingin diambil pemerintah berada di atas tanah negara bebas.
Gugatan dilayangkan kepada empat pihak, yakni Menteri Sekretaris Negara, Pusat Pengelola Komplek Gelora Bung Karno, Kepala Badan Pertanahan Nasional, dan Kantor Administrasi Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat.
Keempat entitas tergugat dianggap mengabaikan keberadaan Indobuildco sebagai pemegang hak atas HGB No. 26 dan No. 27. Yosef mengklaim HGB No. 26/Gelora dan No. 27/Gelora tidak berdiri di atas Hak Pengelolaan Lahan No. 1/Gelora.
Menurut dia, HGB No. 26/Gelora dan No. 27/Gelora diterbitkan pada 1974, sedangkan HPL No. 1/Gelora baru terbit pada 1989. "Jika Sekretaris Negara cq. PPKGBK mau kosongkan lahan berdasarkan HPL No.1/Gelora, maka mereka keliru karena HGB No. 26 dan No. 27 ada di atas tanah negara bebas," ujarnya.
Tanah negara bebas yang ia maksud adalah berada di atas tanah yang bukan hak negara. Karena itu, Indobuildco berharap proses pembaruan hak atas HGB No. 26/Gelora dan No. 27/Gelora diberikan pemerintah sesuai perundangan berlaku.
Tidak Ada Permohonan Izin
Salah satu gugatan yang dilayangkan Indobuildco adalah mengizinkan perpanjangan masa berlaku HGB No. 26/ Gelora dan HGB No. 27/Gelora. Namun, Kharis mengatakan kliennya tidak pernah menerima permohonan perpanjangan tersebut.
Permohonan tersebut harus dilayangkan ke kliennya lantaran kedua sertifikat tersebut telah melebur ke HPL No. 1/Gelora. "Bagaimana bisa memberi izin kalau tidak diminta izinnya ke Kementerian Sekretariat Negara atau PPKGBK?" ujarnya.
Kuasa Hukum PPKGBK Saor Siagian menyampaikan pemerintah telah beritikad baik dengan memperpanjang masa berlaku HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora pada 2003 walau prosesnya masih dipertanyakan. Proses perpanjangan kedua sertifikat tersebut telah menjerumuskan pegawai negara ke penjara.
Perpanjangan HGB milik Indobuildco pada 1999 terjerat dalam kasus korupsi. Pada 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman pidana tiga tahun ke kepala kantor wilayah DKI Jakarta Badan Pertanahan Nasional (BPN) Robert Lumempouw. Ia dianggap menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana dengan memperpanjang kedua HGB milik perusahaan tersebut.
Tersangka lain dalam kasus ini adalah Pontjo Sutowo dan kuasa hukum Indobuildco Ali Mazi. Namun, pengadilan memvonis bebas baik Pontjo maupun Ali, yang saat itu merupakan Gubernur Sulawesi Tenggara nonaktif. Menurut Menteri Sekretaris Negara pada saat itu Yusril Ihza Mahendra, negara diperkirakan merugi hingga Rp1,9 triliun karena kasus korupsi ini.
Namun, pemerintah tetap memperpanjang masa berlaku HGB No. 26/ Gelora dan HGB No. 27/Gelora hingga paruh pertama tahun ini. Saur menyebut Mahkamah Agung telah menetapkan HPL No. 1/Gelora sebagai dokumen yang sah dan mengikat.
Pontjo telah melakukan permohonan pengujian kembali terhadap ketetapan tersebut pada 2011, 2014, 2016, dan 2022 namun berujung buntu. "Kami agak tidak paham upaya hukum yang dilakukan oleh saudara Pontjo Sutowo yang kembali menggugat status HPL No. 1/Gelora tahun 1989 itu," ujarnya.