MKMK Temukan 10 Perkara Etik yang Dilaporkan Soal Putusan Usia Capres
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie menyebut terdapat sepuluh persoalan terkait mahkamah yang dilaporkan sejak sidang pemeriksaan pelapor pada Selasa (31/10). Mayoritas laporan itu berkaitan dengan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.
"Utamanya itu soal hakim tidak mengundurkan diri padahal dalam perkara yang dia punya kepentingan, perkara yang dia punya hubungan keluarga," kata Jimly dalam Sidang Pemeriksaan Pelapor Pelanggaran Kode Etik Hakim Konstitusi di Gedung MK, Jakarta, Rabu (1/11).
Perkara kedua kata Jimly berkaitan dengan hakim konstitusi yang dinilai berbicara di ruang publik dengan materi yang tepat. Ia menyebut ada laporan soal pimpinan MK yang berbicara di ruang publik terkait substansi materi perkara yang sedang diperiksa.
Laporan ketiga menurut Jimly berkaitan dengan hakim MK yang mengungkapkan dissenting opinion atau perbedaan pendapat terkait substansi materi perkara yang sedang diperiksa. Dalam putusan MK mengenai batas usia capres dan cawapres dissenting opinion diberikan oleh empat hakim MK yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.
"Jadi dissenting opinion itu kan perbedaan pendapat tentang substansi, tapi di dalamnya juga ada keluh kesah yang menggambarkan ada masalah dalam mekanisme pengambilan keputusan. Padahal itu adalah internal, " ujar Jimly.
Jimly melanjutkan, persoalan keempat yang dilaporkan berkaitan dengan hakim konstitusi juga dianggap melanggar kode etik karena membicarakan permasalahan internal ke pihak luar. Situasi ini menurut Jimly dapat menimbulkan ketidakpercayaan pada MK.
Persoalan lain yang menurut Jimly juga menjadi sorotan publik adalah adanya dugaan hakim konstitusi yang melanggar prosedur registrasi yang diduga atas perintah hakim MK. "(Keenam) ada juga (laporan) soal pembentukan MKMK. (Dianggap) lambat padahal sudah di diperintahkan oleh undang-undang," kata Jimly.
Selanjutnya, pada laporan ketujuh, hakim konstitusi juga dilaporkan karena mekanisme pengambilan keputusan yang dinilai kacau. Selanjutnya adalah hakim MK dinilai dijadikan sebagai alat politik praktis.
Jimly mengatakan, pada persoalan kesembilan, hakim konstitusi juga dilaporkan karena terdapat permasalahan internal yang diketahui oleh pihak luar. "Kan nggak boleh yang rahasia kok ketahuan kayak CCTV," kata Jimly.
Terakhir, hakim konstitusi diduga melakukan kebohongan terkait ketidakhadirannya dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Perkara Nomor 29, 51 dan 55 yang berkaitan dengan pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu. Jimly menegaskan bahwa pemeriksaan terhadap Hakim MK bertujuan untuk memulihkan kepercayaan publik pada MK.
Atas berbagai laporan yang masuk, Jimly mengatakan bahwa apabila salah satu hakim MK terbukti melanggar kode etik, hukuman yang akan diberikan berupa hukuman etik. Hukuman itu bertujuan mendidik dan membuat jera hakim tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, Jimly mengatakan MKMK akan mempercepat keputusan pada Selasa (7/11) mendatang. Pembacaan laporan dipercepat sesuai dengan permintaan pelapor pertama, untuk menyesuaikan dengan jadwal penetapan capres dan cawapres KPU.
Apabila hakim MK terbukti melanggar kode etik, putusan hakim MK tersebut bisa batal. Hal itu lantaran putusan bisa saja disangkutpautkan dengan proses pendaftaran capres dan cawapres yang didasarkan pada putusan itu.
"Kalau kami tolak (usulan percepatan keputusan), timbul kecurigaan juga kalau kami sengaja berlindung di balik prosedur jadwal (untuk tidak membatalkan putusan MK)," kata Jimly.
Menurut Jimly terdapat dua alasan yang membuat MKMK bersepakat untuk memajukan jadwal putusan menjadi 7 November. Alasan pertama kata Jimly adalah untuk memastikan tidak ada unsur sengaja memperlambat putusan. Alasan kedua karena MKMK menyadari dugaan pelanggaran etik hakim ini tengah menjadi sorotan publik.
“Kami sedang menghadapi emosi publik luas sekali ini harus segera butuh kepastian menuju pemilu 2024,” ujar Jimly.
Ia mengatakan untuk memastikan putusan dapat dibacakan lebih cepat, majelis hakim akan menggelar sidang secara marathon. Majelis berharap bila masih ada publik yang ingin mengajukan laporan bisa dimasukkan maksimal 1 November 2023.