Ketua Bawaslu Curhat Sulitnya Keterbukaan Data Caleg dari KPU

Ringkasan
- Menteri Perekonomian menekankan perlunya kajian mendalam tentang manfaat program Tapera bagi pekerja, termasuk terkait kepemilikan atau renovasi perumahan.
- Regulasi Tapera mewajibkan iuran sebesar 3% dari gaji atau upah pekerja, dibagi antara perusahaan dan pekerja atau ditanggung sendiri untuk pekerja mandiri.
- Apindo dan serikat buruh menolak program Tapera karena dinilai memberatkan beban iuran bagi pengusaha dan pekerja.

Ketua Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu, Rahmat Bagja, menyayangkan sulitnya mendapat data calon legislatif dari KPU. Dia mengatakan bahwa hal ini bisa menyulitkan pihaknya untuk membuat laporan bila terjadi kecurangan.
“Bahkan KPU tidak memberi informasi terkait kandidat pilpres, dari laporan kesehatan hingga sertifikat-sertifikat,” ujarnya di acara Jakarta Foreign Correspondent Club bertajuk Election Transparency Talk di Ascott Sudirman, Jakarta, Rabu (7/2).
Menurutnya, hal ini berbeda dengan Pemilu 2019. Kala itu, Bawaslu bisa mengakses dokumen hingga tingkat daerah sehingga laporan kecurangan bisa dilacak dan diadili.
Bagja kemudian meminta agar seleksi petinggi KPU di masa depan harus berkomitmen pada keterbukaan. Ia menekankan bahwa KPU, Bawaslu, dan DKPP adalah mitra kerja. “Sekarang enggak ada sinergi yang baik antara KPU dan Bawaslu. Ini masalah klasik,” ujarnya.
Ketika ditanyakan terkait kesediaan Bawaslu untuk meminta data pada KPU, Bagja berkilah bahwa KPU menggunakan hukum keterbukaan publik. Padahal Bawaslu pernah meminta daftar nama dan alamat saja, dengan menutup Nomor Induk Kependudukan alias NIK. Ia mengaku tidak memperoleh daftar tersebut.
Salah satu contoh masalah yang ia temui di salah satu kabupaten di Banten, Jawa Barat, yang mempunyai daftar pemilih tetap 800 orang. Meski demikian, mereka tidak memiliki data dimana RT atau RW asalnya. “Di dekat Jakarta saja ada daftar ghost voter. Bagaimana dengan daerah lainnya?” ujar Bagja.