Pakar Energi Ungkap Kriteria Calon Menteri ESDM, Siapa Sosok yang Pas?
Sejumlah pakar energi mendorong presiden terpilih Prabowo Subianto menunjuk figur yang berani melaksanakan kebijakan tidak populer untuk mengisi jabatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2024-2029. Hal itu diperlukan untuk memastikan kebijakan bidang energi bisa berjalan dengan baik.
Karakter tegas, integritas, inovatif, transparan dan berkomitmen terhadap pelayanan publik menjadi kriteria yang wajib dimiliki oleh Menteri ESDM. Parameter tersebut dinilai relevan dengan kebutuhan jaman saat ini yang mewanjibkan upaya transisi dari energi fosil ke energi terbarukan.
Sejumlah nama seperti Mantan Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto (Tjip) masuk dalam usulan kandidat Menteri ESDM.
Pakar Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai sosok Jonan dan Tjip merupakan kandidat ideal untuk menduduki pimpinan otoritas energi nasional di kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran nantinya. Fahmy berpendapat, dua figur tersebut punya rekam jejak mumpuni dalam sektor energi domestik.
Dia mengatakan Jonan punya kontribusi signifikan terhadap divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI) pada 2018 lalu. Jonan juga punya peran dalam penerbitan regulasi penjualan batu bara untuk kepentingan dalam negeri alias domestic market obligation (DMO) senilai US$ 70 per ton untuk kebutuhan PT PLN yang masih berjalan hingga saat ini.
"Kalau Jonan masuk calon menteri ESDM maka dia bisa beradaptasi cepat untuk melanjutkan kebijakan yang dulu belum sempat berjalan," kata Fahmy saat berbincang denganKatadata lewat sambungan telepon beberapa waktu lalu.
Di sisi lain figur Dwi Soetjipto menurut Fahmy juga termasuk sosok ideal untuk memimpin Kementerian ESDM. Menurut Fahmy, Dwi, yang juga Mantan Direktur Utama PT Pertamina berperan dalam pembubaran Pertamina Energy Trading Limited (Petral) yang saat itu bertugas untuk melaksanakan fungsi impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM).
Tjip mengalihkan fungsi Petral ke unit usaha Pertamina melalui Integrated Supply Chain (ISC). Adapun saat itu Petral disinyalir telah menjadi sarang bagi mafia bisnis migas.
"Pak Tjip sangat tepat masuk kandidat calon menteri ESDM karena punya kapabilitas, integritas dan pengalaman," ujar Fahmy yang juga Mantan Anggota Tim Anti-Mafia Migas itu.
Komitmen Wujudkan Transisi Energi
Ekonom energi sekaligus pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan bahwa sosok ideal Menteri ESDM ke depan harus memiliki keberanian untuk menjalankan kebijakan yang mempercepat proses transisi energi. Pri berpendapat komitmen pelaksanaan transisi energi saat ini masih berjalan lambat.
"Kita memang menuju ke arah yang positif, namun masalah dan persoalannya bergerak lebih cepat dibandingkan progres yang kita buat," kata Pri saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Sabtu (11/5).
Dia mengusulkan agar kursi menteri ESDM diduduki oleh figur yang memiliki pandangan selaras dengan janji politik Prabowo-Gibran. Seperti memperbaiki skema insentif untuk mendorong aktivitas temuan cadangan sumber energi baru untuk meningkatkan ketahanan energi nasional hingga merevisi semua tata aturan yang menghambat upaya peningkatkan investasi baru di sektor energi baru dan terbarukan (EBT).
Pri mencontohkan, sosok tersebut harus memenuhi kriteria tegas dalam melaksanakan kebijakan tidak populer, satu diantaranya yakni memberikan insentif untuk pengembangan sumber listrik panas bumi.
Dia menjelaskan, pemanfaatan listik panas bumi saat ini yang cenderung minim disebabkan oleh kondisi harga setrum geothermal yang tinggi. Pri mengatakan perlu adanya inisiatif dari menteri ESDM teranyar untuk memberikan beragam stimulus supaya PLN bersedia membeli listrik dari pengembang listrik panas bumi.
Adapun negosiasi pembelian listrik panas bumi dari pengembang swasta ke PLN cenderung masih menerapkan mekanisme pasar. Ini menjadi tantangan bagi PLN karena harus menjaga patokan anggaran tahunan selaku badan usaha milik negara.
"Ini tidak mungkin jalan cepat jika tidak ada subsidi untuk menanggung selisih harga. Pemerintah harus intervensi dalam bentuk pendanaan untuk membayar selisih dari biaya produksi," ujar Pri.