Penyediaan Layanan Inklusif di Daerah Perlu Bantuan Masyarakat Sipil
Pemerintah Indonesia saat ini tengah menyiapkan strategi implementasi Rencana Aksi Nasional untuk kelompok masyarakat rentan. Perencana Kebijakan Madya dari Direktorat Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat (PKPM), Kementerian PPN/Bappenas, Dinar Dana Kharisma, menjelaskan fokus Bappenas saat ini adalah menggerakkan aktor-aktor masyarakat sipil untuk berperan aktif dalam advokasi untuk penyediaan layanan dasar yang inklusif di tingkat daerah.
Menurut dia, saat ini masih terdapat kesenjangan antara penyandang disabilitas dan bukan disabilitas dalam berbagai sektor, khususnya aksesibilitas pada layanan dasar (kesehatan dan pendidikan). Hal ini perlu direspon dengan kebijakan serta perencanaan dan penganggaran yang lebih responsif dan inklusif disabilitas.
“Tidak mungkin pemerintah itu kerja sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan inklusivitas. Bappenas percaya bahwa di dalam melaksanakan kegiatan itu kita harus bersama-sama. Tidak bisa pemerintah sendiri, penyandang disabilitas sendiri, Kita dari Bappenas tetap ingin berjalan dengan teman-teman seperti SKALA, dan saya harapkan ini menjadi norma yang harus dilaksanakan,” kata Dinar saat jadi pembicara di hari kedua Konferensi Internasional Indonesian Regional Science Association (IRSA) 2024 di Ambon, Selasa (16/7/2024). Program SKALA, Kemitraan Pemerintah Australia dan Indonesia untuk akselerasi layanan dasar, turut mendukung pelaksanaan Konferensi Internasional IRSA 2024 dan mengadakan rangkaian diskusi panel tentang penyediaan layanan dasar yang inklusif.
Menurut Dinar, mayoritas penyandang disabilitas dengan tingkat kesejahteraan rendah di Provinsi Maluku didominasi oleh disabilitas perempuan. Data Susenas 2023 juga menunjukan penduduk penyandang disabilitas (kategori sedang-berat) di Maluku sebanyak 28.943 Jiwa, dengan Persentase sebesar 1,58%. Karena itu, Dinar menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil, untuk memastikan efektivitas dan inklusivitas dalam penyediaan layanan dasar bagi masyarakat, terutamanya yang miskin dan rentan.
“Ini yang akan menjadi tujuan bersama, masyarakat yang kuat, pemerintah yang juga mendengar dan sama kuatnya dengan masyarakat, tetapi bekerja bersama ya, tidak kontradiktif, dan kemudian menghasilkan sesuatu yang bisa diimplementasikan bersama-sama, untuk semua jenis kelompok rentan,” ujar dia.
Aktivis Senior Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial (GEDSI) dari Gasira Maluku, Lies Marantika juga mengajak semua pihak untuk membangun sinergisitas yang lebih kuat dalam memperjuangkan kesetaraan gender.
Dia menekankan pentingnya mengidentifikasi dan melibatkan pihak-pihak yang memiliki komitmen substansial dan transformatif dalam memperjuangkan kepentingan perempuan. Lies berharap adanya inisiatif masyarakat sipil di Maluku dapat terus mengumpulkan dan mendorong para pemangku kepentingan utama untuk bersama-sama membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil bagi semua.
Dengan demikian, penekanan Lies tidak hanya pada pengakuan akan peran vital perempuan dalam pembangunan, tetapi juga pada perlunya perubahan dalam paradigma kebijakan publik untuk mencapai kesetaraan gender yang lebih baik di Indonesia, khususnya di daerah-daerah seperti Maluku.
“Hal-hal yang berkaitan dengan layanan dasar itu merupakan kewajiban. Karena ketimpangan ini sering kali mengakibatkan marginalisasi, beban ganda, dan subordinasi terhadap perempuan, terutama dalam lingkup keputusan dan kontrol terhadap layanan dasar. Tidak melibatkan perempuan secara menyeluruh dapat menghasilkan dampak yang tidak merata pada masyarakat, khususnya pada warga perempuan,” kata dia.
Selain penyediaan layanan dasar yang inklusif, Program SKALA juga menyoroti pentingnya pengelolaan keuangan publik yang efektif dalam mendukung penyediaan layanan dasar yang inklusif di Maluku. Kepala Bappeda Provinsi Maluku, Anton A Lailosa, menjelaskan berdasarkan PMK Nomor 84 tahun 2023 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah, Rasio Kapasitas Fiskal Daerah (RKFD) Provinsi Maluku berada pada level 1,498 atau masuk dalam kategori FKD rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan keuangan daerah Provinsi Maluku untuk membiayai berbagai program dan kegiatan pembangunan masih terbatas.
Untuk mencapai pembiayaan pelayanan dasar yang berkelanjutan dan inklusif, pembiayaan pelayanan dasar di Provinsi Maluku membutuhkan pendekatan komprehensif yang mengatasi berbagai kendala internal dan eksternal.
“Kebijakan pembiayaan pelayanan dasar juga harus dilihat sebagai bagian dari proses kebijakan publik yang sifatnya dinamis. Juga, perlu adanya terobosan-terobosan kebijakan untuk Provinsi Maluku seperti yang dilakukan pada daerah lain dengan memperhatikan keunikan, kekhususan, dan keberagaman daerah,” ujar dia.
Moza Pandawa Sakti dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, juga mengakui salah satu tantangan utama persoalan ini adalah belum adanya sinergitas pengaturan terkait pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menurut dia, sinergitas yang belum terjalin dengan baik mengakibatkan kesulitan dalam pengalokasian dan penggunaan anggaran yang optimal.
Kemudian, kapasitas fiskal daerah yang masih rendah juga menjadi hambatan besar dalam pengelolaan keuangan daerah. Rendahnya kapasitas fiskal ini membuat daerah sulit untuk mandiri dalam pembiayaan program-program pembangunan dan layanan dasar. Moza mencatat bahwa sistem atau platform pengelolaan keuangan daerah yang masih dalam tahap pengembangan turut menjadi kendala.
“Tantangan-tantangan ini memerlukan perhatian khusus dan kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan demikian, penguatan sinergitas pengelolaan keuangan dan peningkatan kapasitas fiskal daerah diharapkan dapat mendukung penyediaan layanan dasar yang inklusif dan berkelanjutan di Maluku,” ujar dia.
Khoirunurrofik dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia memperkenalkan studi Analisis Pengeluaran dan Pendapatan Publik. Studi yang turut melibatkan Program SKALA sebagai baseline untuk evaluasi ini diharapkan dapat memberikan panduan yang lebih jelas dan berbasis bukti untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut dan meningkatkan kualitas layanan dasar yang inklusif, termasuk juga di Maluku.
“Efektivitas belanja pemerintah sangat penting karena dapat memberikan hasil yang signifikan. Melalui upaya peningkatan pendapatan dan belanja yang lebih efisien, diharapkan kualitas belanja publik dapat terus ditingkatkan, mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat,” jelas dia.
Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan panduan dan solusi bagi pemerintah daerah dalam menghadapi tantangan tersebut dan meningkatkan kualitas layanan publik di Maluku. Selain itu, acara ini diharapkan dapat mendorong diskusi yang komprehensif dan menghasilkan strategi yang efektif untuk pengelolaan keuangan publik, sehingga dapat memberikan dampak positif bagi penyediaan layanan dasar yang inklusif bagi seluruh masyarakat Maluku.