3,4 Juta Pemilih Tak Ikut Pilkada Jakarta, Lebih Banyak dari Suara Pramono-Rano
Jumlah pemilih yang tak ikut mencoblos pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jakarta pada 27 November lalu jadi sorotan. Partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 jauh di bawah partisipasi saat pilpres ataupun pilkada 2017.
Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU), dari 8,2 juta warga Jakarta yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), hanya 4,7 juta yang menggunakan hak suara. Sebanyak 3,4 juta lainnya atau setara 42,48% tak menggunakan hak pilih atau golput.
Jumlah pemilih yang tak mencoblos di Jakarta lebih banyak dibanding suara yang diperoleh pemenang pilkada. Merujuk data KPU pasangan Pramono Anung - Rano Karno yang meraih suara tertinggi hanya mengantongi 2,18 juta suara atau setara 50,07% dari total suara sah.
Sementara itu pasangan Ridwan Kamil - Suswono mendapatkan 1.7 juta suara atau 39,40%. Adapun pasangan Dharma Pongrekun - Kun Wardana meraih 459.230 suara atau 10,53%.
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menilai rendahnya partisipasi pemilih di Pilkada tak berpengaruh terhadap hasil. Ia mengatakan kemenangan paslon tetap sah meski jumlah pemilih rendah. "Ya, tetap saja itu valid," kata Bima seperti dikutip Kamis (12/12).
Meski demikian, dia tetap memandang bahwa tingginya tingkat partisipasi politik akan menjadi salah satu faktor yang mendukung legitimasi pasangan terpilih. Adapun faktor legitimasi lainnya akan merujuk pada kinerja pasangan calon yang terpilih.
"Sekarang publik menunggu bagi para kepala daerah terpilih ini untuk menunjukkan legitimasinya melalui kinerjanya, dan itu akan kami awasi bersama-sama dengan pemerintah," ujar Bima.
Lebih jauh Bima Arya mengatakan berdasarkan pengalaman di sejumlah daerah banyak ditemukan realitas kepala daerah yang mengawali pemerintahan dengan raihan suara tipis pada pilkada, namun mampu menunjukkan kinerja baik pemerintahannya. Oleh karena itu ia mengatakan tingkat partisipasi tak berbanding lurus dengan capaian kinerja pemerintahan terpilih.
Menurut Bima, terdapat sejumlah faktor yang bisa menyebabkan tingginya angka golput di Pilkada termasuk Jakarta. "Bisa macam-macam ya karena faktor administratif, karena faktor ideologis, karena faktor teknis penyelenggaraan yang terlalu berdekatan antara pileg, pilpres dengan pilkada ini," ujar Bima.
Dia pun tak memungkiri kejenuhan masyarakat terhadap pemilihan umum juga bisa menjadi penyebabnya menurunnya partisipasi pemilih. Faktor lain adalah cuaca alam yang bisa jadi menghambat pada saat pemilihan.
Jumlah DPT Pilkada Jakarta | 8.214.007 orang |
Jumlah Pemilih yang Tak Mencoblos | 3.489.614 orang |
Jumlah pemilih gunakan hak pilih | 4.724.393 orang |
Jumlah Suara Pramono Anung - Rano Karno | 2.183.239 suara |
Jumlah Suara Ridwan Kamil - Suswono | 1.718.160 suara |
Jumlah Suara Dharma Pongrekun - Kun Wardhana | 459.230 suara |
Revisi UU Pilkada
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf mengatakan, kurang menjualnya calon yang berlaga menjadi salah satu faktor minimnya partisipasi publik pada pilkada. Selain itu Dede menilai jarak antara Pemilu dan Pilkada terlalu dekat sehingga menimbulkan kejenuhan di masyarakat.
Komisi II juga menyoroti berubahnya ambang batas pencalonan karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga menyebabkan banyaknya perombakan koalisi dan banyaknya calon melawan kotak kosong. Hal ini menurut dia tidak hanya terjadi di Jakarta tetapi juga secara nasional.
"Banyaknya jumlah Pj dan Pjs menyebabkan banyak daerah kurang optimal juga mendukung pesta demokrasi.
Dan masih bnyk lagi yang akan dievaluasi," kata Dede.
Di sisi lain, UU Pemilu dan UU Pilkada masuk dalam prolegnas prioritas. Wakil Ketua Baleg DPR, Ahmad Doli Kurnia mengatakan, diperlukannya penyempurnaan sistem Pemilu untuk menyempurnakan sistem demokrasi.
“Apalagi sebenarnya kita akan lebih nyaman, lebih bebas gitu ya, lebih objektif kalau Undang-undang Pemilu itu dibahas di awal Pemilu, di awal pemerintahan, supaya tidak ada bias pada saat nanti menjelang Pemilu,” kata Doli kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (18/11).
Pada pemilu 2024 lalu partisipasi pemilih di Jakarta mencapai 78,3%. Jumlah ini meningkat dibandingkan tingkat partisipasi di Pilkada 2017 yang berada di angka 78%. Pada 2009 tingkat partisipasi pemilih di Jakarta berada di angka 58,3%. Angka ini meningkat menjadi 66,5% pada Pemilu 2014, dan kembali meningkat menjadi 79% pada Pemilu 2019.