Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Naik, ICW: Masih Banyak Catatan

Muhammad Almer Sidqi
15 Februari 2025, 14:00
Unjuk Rasa Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Sejumlah aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama gerakan #BersihkanIndonesia menggunakan kostum serial Netflix Money Heist melakukan aksi unjuk rasa di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (8/12/2021). Akis tersebut dilakukan dalam memeringati hari antikorupsi sedunia yang jatuh pada 9 Desember 2021 menjadi momentum penting untuk mengingatkan kembali masyarakat tentang bahaya korupsi dan upaya perlawanan yang perlu terus dilanjutkan.

Ringkasan

  • IPK Indonesia naik menjadi 37 dan peringkat naik menjadi 99, namun masih merosot dibanding skor tertinggi pada 2019.
  • Kenaikan IPK utamanya disebabkan masuknya indikator baru World Economic Forum (WEF), namun kualitas datanya masih perlu dipertanyakan.
  • ICW menilai pemberantasan korupsi justru berjalan regresif karena tidak ada inisiatif antikorupsi dari pemerintah dan keengganan untuk memperkuat regulasi.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Transparency International Indonesia (TII) merilis Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2024, Selasa (11/2). IPK Indonesia pun tercatat meningkat naik tiga poin menjadi 37 setelah sebelumnya stagnan dua tahun berturut-turut di angka 34.

Dengan kenaikan indeks ini, peringkat Indonesia terdongkrak menjadi peringkat 99 dari 180 negara. Meski naik, skor Indonesia kali ini juga masih merosot dibandingkan dengan skor tertinggi yang pernah Indonesia dapat, yaitu 40 pada 2019.

Peneliti Indonesia Corruptioon Watch (ICW) Agus Sunaryanto mengatakan kenaikan skor IPK 2024 masih menyisakan banyak catatan dan tak cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa kondisi antikorupsi Indonesia membaik. Terlebih saat menghadapi masa pasca tahun politik dan beragam kebijakan baru pemerintah yang mempunyai kerentanan korupsi cukup tinggi.

"Indonesia mengalami penurunan skor pada tiga sumber data IPK, yaitu terkait penggunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi, korupsi politik yang melibatkan tiga rumpun kekuasaan, dan penyuapan kegiatan bisnis seperti ekspor, impor, dan perolehan kontrak publik," Sunaryanto menjelaskan dalam keterangan tertulis yang diterima Katadata.co.id, Sabtu (15/2).

Kenaikan skor IPK Indonesia utamanya disebabkan adanya penambahan indikator World Economic Forum (WEF) yang terakhir kali masuk indikator IPK pada 2021. WEF, seperti yang dijelaskan TII, adalah indikator yang mengukur tentang seberapa wajar perusahaan melakukan pembayaran tambahan atau suap yang tidak tercatat.

Menurut Sunaryanto, meski skor WEF 2024 naik signifikan dibandingkan skor pada 2012-2021, adanya indikator ini perlu dicatat sebagai indikator baru yang hadir karena Indonesia memberi tanggapan untuk survei, yang kualitas datanya juga masih perlu dikhawatirkan setelah vakum dua tahun.

Sumber data IPK 2024 lainnya adalah Global Insight Country Risk Ratings, yang pada 2024 malah turun 15 poin dibanding 2023. Indikator ini terkait risiko penyuapan dalam impor/ekspor, memperoleh kontrak publik, dan melakukan kegiatan bisnis lainnya.

Indikator lain yang berkaitan dengan IPK 2024 adalah Varieties of Democracy Project, sebuah indikator korupsi politik yang melibatkan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tercermin dalam korupsi sumber daya alam di Indonesia.

Kajian ICW mengenai bisnis ekstraktif dan energi terbarukan di balik Prabowo-Gibran menunjukkan bahwa perusahaan yang bergerak di bidang ekstraktif berelasi kuat dengan para penguasa atau pejabat terpilih untuk mengamankan usahanya.

"Pemerintah daerah dan eksekutif memberikan izin ekstraktif, pemilik perusahaan diberikan karpet merah oleh legislatif, dan keberpihakan yudikatif kepada perusahaan jika masyarakat berteriak di pengadilan akan dampak lingkungan yang dialami," kata Sunaryanto.

Karena itu, ICW memandang, realitas pemberantasan korupsi justru berjalan sebaliknya di sepanjang 2024. Terdapat tiga alasan mengapa pemberantasan korupsi cenderung berjalan regresif dan diproyeksikan akan berlanjut di tahun 2025.

Salah satunya tidak ada inisiatif program ataupun kebijakan antikorupsi yang secara sistematis diimplementasikan oleh pemerintah sepanjang 2024 dan direncanakan pada 2025. "Upaya pemberantasan korupsi seolah tebang pilih untuk menangani para pihak yang berada pada pusaran kasus korupsi dan merupakan pejabat penting," kata Sunaryanto.

Beberapa yang disebut ICW antara lain kasus dugaan korupsi CSR Bank Indonesia yang diduga berkelindan dengan Gubernur BI dan sejumlah anggota DPR. Lalu kasus dugaan korupsi pembangunan jalur kereta di Kementerian Perhubungan yang diduga aliran dananya untuk membiayai pencalonan Presiden Joko Widodo pada Pemilu 2019, dan dugaan korupsi pengadaan barang pada rumah jabatan anggota DPR yang diduga melibatkan Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar.

Selain itu, ICW juga menilai tidak adanya keinginan dari pemerintah untuk mengakselerasi pemberantasan korupsi melalui penguatan regulasi, di antaranya RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal. "ICW memandang bahwa alasan utama di balik keengganan penguatan hukum antikorupsi karena regulasi ini akan mengancam stabilitas pejabat publik yang korup," tutup Sunaryanto.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...