Komnas HAM Terima 114 Aduan Terkait PSN: Rempang hingga Food Estate
Komisioner Pemantauan & Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Saurlin P. Siagian mengatakan dalam tiga tahun terakhir terdapat setidaknya lebih dari 100 laporan berkaitan dengan dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam pelaksanaan Program Strategis Nasional (PSN).
Hal itu disampaikannya dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa (7/10).
“Terdapat setidaknya 114 pengaduan terkait PSN dalam tempo tiga tahun terakhir yang mengandung dugaan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Saurlin dalam sidang.
Saurlin mengatakan, pola permasalahan dugaan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan PSN selalu berulang yakni penggusuran paksa, kompensasi tidak layak, kriminalisasi warga, hingga degradasi lingkungan hidup.
“Contoh konkret kami sampaikan, ada kasus Wadas, kasus Rempang, kasus Mandalika, pembukaan Food Estate di Papua, dan kawasan industri Morowali,” kata dia.
Saurlin menjelaskan, dari semua laporan tersebut menunjukkan pola kemiripan. Polanya adalah keputusan diambil dari tingkat kepemimpinan tertinggi, kurang konsultasi bermakna, dan pengamanan berlebihan yang memicu konflik.
“Kemudian instrumen Amdal hanya menjadi dokumentasi administratif, aparat diberi peran berlebihan untuk menekan perbedaan pendapat, dan dampak sosial ekonomi yang meningkatkan kerentanan warga,” kata Saurlin.
Adapun, perkara bernomor 112/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), serta 19 pemohon lainnya. Agenda sidang kali ini yakni mendengar Keterangan DPR, Komnas HAM, dan Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Sebelumnya, para pemohon mendalilkan bahwa ketentuan dalam UU Cipta Kerja, khususnya yang berkaitan dengan kemudahan dan percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN), telah menggerus prinsip-prinsip dasar negara hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Pemohon berpendapat bahwa percepatan dan kemudahan PSN yang diatur dalam Pasal 3 huruf d UU Cipta Kerja justru menimbulkan konflik sosial-ekonomi yang berdampak pada pelanggaran hak konstitusional warga negara.
Norma tersebut dianggap kabur (vague norm) karena memuat frasa seperti “penyesuaian berbagai peraturan” dan “kemudahan dan percepatan” yang tidak memiliki batasan operasional konkret. Hal ini dinilai membuka ruang bagi pembajakan kepentingan politik tertentu dan menutup ruang partisipasi publik yang bermakna.
Selain itu, sejumlah pasal lain dalam UU Cipta Kerja juga turut dipersoalkan, seperti Pasal 123 angka 2, Pasal 124 angka 1 ayat (2), Pasal 173 ayat (2) dan (4), serta Pasal 31 ayat (2). Ketentuan tersebut dianggap membajak konsep kepentingan umum dan hak menguasai negara yang diamanatkan Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945.
Dengan demikian, para pemohon memohon agar MK menyatakan sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Mereka berharap, melalui permohonan ini, MK memastikan akuntabilitas penyelenggara negara dalam menjalankan fungsinya sebagai pemegang kewajiban untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara.
