Putusan MK: Penegak Hukum Bisa Tangkap Jaksa Tanpa Izin Jaksa Agung

Ade Rosman
16 Oktober 2025, 19:29
mk, jaksa, kejaksaan
ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/foc.
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih (kiri) dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur memimpin sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Gubernur Papua Tahun 2024 secara daring di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (2/9/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). 

Permohonan bernomor 15/PUU-XXIII/2025 ini diajukan Agus Setiawan (Aktivis/Mahasiswa), Sulaiman (Advokat), dan Perhimpunan Pemuda Madani. Putusan dibacakan dalam sidang pleno yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (16/10). 

Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk sebagian. Hakim menyatakan Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Ketentuan ini sepanjang tak dimaknai memuat pengecualian dalam hal tertangkap tangan melakukan tindak pidana atau berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana khusus. 

Sehingga Pasal itu selengkapnya berbunyi:

"Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas Izin Jaksa Agung, kecuali dalam hal: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus." 

Mahkamah menyatakan Pasal 35 ayat (1) huruf e beserta penjelasannya UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

Dalam pertimbangan hukum, Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan bahwa perlindungan hukum terhadap aparat penegak hukum maupun penyelenggara negara yang menjalankan fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman memang diperlukan. 

Namun, perlindungan tersebut tidak boleh meniadakan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Arsul mengatakan, setiap warga negara, termasuk aparat penegak hukum, seharusnya tetap dapat dikenakan tindakan hukum tanpa perlakuan istimewa. 

Arsul mengatakan perlindungan hukum hanya dapat diberikan dalam batas yang wajar, guna menjaga independensi penegak hukum dari tekanan atau gangguan dalam melaksanakan tugasnya.

Adapun Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan mengatur bahwa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung, dinilai mahkamah berpotensi menimbulkan perlakuan istimewa yang melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum.

“Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat norma ini harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat,” kata Arsul.

Selain itu, Arsul mengatakan, setelah mahkamah mencermati, norma dalam Pasal 8 ayat (5) UU 11/2021 dinilai sebagai payung hukum bagi jaksa yang sedang menjalankan tugas dan wewenangnya agar tidak boleh dilakukan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, dan penahanan tanpa seizin Jaksa Agung.

Maka, seorang jaksa yang diduga melakukan tindak pidana, tidak dapat dilakukan tindakan hukum oleh aparat penegak hukum jika tidak ada izin dari Jaksa Agung.

Berdasarkan pertimbangan hukum itu, Mahkamah berpendapat, norma Pasal 8 ayat (5) UU 11/2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai:

"Dikecualikan/tidak diberlakukan dalam hal tertangkap tangan melakukan tindak pidana atau berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus”. 

Adapun, dua hakim menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion berkaitan dengan putusan perkara in. Mereka yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan M. Guntur Hamzah.

Arief Hidayat dan Guntur Hamzah menilai, pasal 8 ayat (5) UU kejaksaan dimaksudkan sebagai mekanisme perlindungan bagi jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bukan imunitas absolut.

Selain itu, ruang partisipasi jaksa agung sebagai advokat general dalam memberikan pertimbangan hukum teknis dalam proses kasasi apabila dilakukan secara professional, transparan dan akuntabel sejatinya memperkuat prinsip check and balances dalam konteks mewujudkan penegakkan keadilan

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ade Rosman

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...