Pimpinan DPR Sebut Pembahasan RUU KUHAP Tetap Lanjut Meski Ada Laporan ke MKD
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Cucun Ahmad Syamsurijal menyatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tidak dapat dihentikan meskipun adanya laporan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR.
Koalisi masyarakat sipil melaporkan Komisi III DPR ke MKD terkait dugaan pelanggaran dalam pembahasan RUU KUHAP. Meski demikian, Cucun mengatakan, mekanisme yang telah berjalan di DPR tidak akan dihentikan meskipun nantinya terdapat laporan mengenai hal tersebut.
“ekanismenya kan ada, kalau emang enggak setuju dengan isinya bisa melalui judicial review,” kata Cucun di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/11).
Namun, Cucun memastikan pelaporan ke MKD itu akan ditindaklanjuti dalam rapat pimpinan MKD. RUU KUHAP ini pun akan dibahas dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (18/11).
“Kalau sudah masuk di pimpinan DPR, kami akan sampaikan bahas. Kalau misalkan nanti disposisi ditindaklanjuti oleh MKD,” katanya.
Sebelumnya, Komisi III DPR telah menyetujui RUU KUHAP yang telah rampung dibahas untuk dibawa ke pembahasan tingkat II di rapat paripurna. Persetujuan itu diambil dalam rapat pada Kamis (13/11) pekan lalu.
Adapun, sejumlah substansi perubahan KUHAP melingkupi:
1. Penyesuaian hukum acara pidana, dan dengan memperhatikan perkembangan hukum nasional dan internasional.
2. Penyesuaian pengaturan hukum acara pidana dengan nilai nilai KUHP baru yang menekankan orientasi restoratif, rehabilitatif, restitutif guna mewujudkan pemulihan keadilan substansi dan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat.
3. Penegasan prinsip diferensiasi fungsional dalam sistem penilaian pidana yaitu pembagian peran yang proporsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat dan pemimpin kemasyarakatan untuk menjadi profesionalitas dan akuntabilitas.
4. Perbaikan pengaturan mengenai kewenangan penyelidik, penyidik dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antar lembaga guna meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas sistem peradilan pidana.
5. Penguatan hak-hak tersangka, terdakwa korban, saksi termasuk hak atas bantuan hukum pendampingan advokat, hak atas peradilan yang adil dan tidak memihak serta perlindungan terhadap ancaman intimidasi atau kekerasan dalam setiap tahap penegakan hukum.
6. Penguatan peran advokat sebagai bagian integral dalam sistem peradilan pidana mencakup kewajiban pendampingan advokat terhadap tersangka dan atau terdakwa dalam setiap tahap pemeriksaan. Penegasan kewajiban negara untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma bagi pihak tertentu dan perlindungan terhadap advokat dalam menjalankan tugas dan profesinya.
7. Pengaturan mekanisme keadilan restoratif atau restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana luar pengadilan yang dapat dilakukan sejak tahap penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan.
8. Perlindungan khusus terhadap kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas, perempuan, anak dan lanjut usia diperkuat dengan kewajiban aparat untuk melakukan asesmen kebutuhan khusus, serta menyediakan sarana dan prasarana pemeriksaan yang ramah dan aksesibel.
9. Penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam setiap tahap pemeriksaan.
10. Perbaikan pengaturan tentang upaya paksa untuk menjamin penerapan prinsip perlindungan HAM dan due proces of law. Termasuk pembatasan waktu syarat penetapan dan mekanisme kontrol yudisial melalui izin pengadilan atas tindakan aparat penegak hukum.
11. Pengenalan mekanisme hukum baru dalam hukum acara pidana antara lain pengakuan bersalah bagi terdakwa yang kooperatif dengan imbalan keringanan hukuman dan perjanjian penundaan penuntutan bagi pelaku tindak pidana korporasi.
12. Pengaturan prinsip pertanggungjawaban atas tindak pidana korporasi.
13. Pengaturan kompetensi, restitusi, rehabilitasi secara lebih tegas sebagai hak hukum korban dan pihak yang dirugikan oleh kesalahan prosedur atau kekeliruan penegakan hukum.
14. Modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan proses peradilan yang cepat sederhana, transparan dan akuntabel.
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menyoroti sejumlah poin dalam RUU KUHAP, koalisi pun menyerukan sejumlah hal, yakni:
1. Presiden menarik draf RUU KUHAP per 13 November 2025 untuk tidak dilanjutkan dalam pembahasan Tingkat II sidang paripurna
2. Pemerintah dan DPR merombak substansi draf RUU KUHAP per 13 November 2025 dan membahas ulang arah konsep perubahan KUHAP untuk memperkuat judicial scrutiny dan mekanisme check and balances, sebagaimana usulan konsep-konsep dalam Draf Tandingan RUU KUHAP versi Masyarakat Sipil; dan
3. Pemerintah dan DPR tidak menggunakan alasan yang menyesatkan publik terkait pemberlakuan KUHP Baru semata-mata untuk memburu-buru pengesahan RUU KUHAP yang masih sangat bermasalah.
