Cerita Relawan Cari Korban Banjir Bandang di Kabupaten Agam, Andalkan Tongkat
Sudah tujuh hari Narso bersama tim Pencarian dan Penyelamatan (SAR) MTA Majelis Tafsir Al-Quran Sumatra Barat menyusuri wilayah yang terdampak banjir besar atau galodo di Kabupaten Agam, Sumbar.
Setiap hari, sejak fajar menyingsing hingga matahari terbenam, mereka menembus lumpur dan puing untuk mencari korban banjir. Mereka mengandalkan hal sederhana yaitu tongkat pipa dan indera penciuman.
Di Nagari Salareh Aia, Palembayan, Kabupaten Agam, Sumbar, medan bekas banjir bandang masih labil. Tanah mudah amblas, bebatuan besar bertumpuk tak beraturan dan bongkahan kayu menutup banyak bagian alur sungai.
Narso mengatakan, kondisi itu membuat pencarian korban yang belum ditemukan semakin sulit. “Bekal untuk menjelajah hanya insting penciuman sama kejelian mata,” ujarnya ketika ditemui di tepian aliran banjir di Nagari Sareh Aia Timur, Sabtu (6/12).
Tongkat yang ia bawa selalu menjadi alat pertama untuk memeriksa tanah atau timbunan material. Tongkat tersebut berbentuk pipa sepanjang satu meter dan diameter sekitar 4 sentimeter.
Jika menemukan bau yang mencurigakan, ia dan tim menandai lokasi itu lalu melaporkan kepada petugas Basarnas untuk melakukan evakuasi. Mereka tidak diperbolehkan mengangkat jenazah tanpa perlengkapan pelindung lengkap.
Narso menyebut, banjir bandang kali ini adalah yang paling berat selama ia bertugas sebagai relawan SAR. Lumpur yang labil, material besar yang berserakan, dan medan yang berubah setiap saat meningkatkan risiko bagi tim pencarian.
“Ini berat menurut kami. Risikonya tinggi,” katanya.
Ia mengatakan, tim di lapangan sangat kekurangan alat bantu untuk mencari korban. Saat ini tim relawan hanya mengandalkan tongkat untuk menembus tanah demi mencari para korban.
Alat berat menjadi satu-satunya bantuan yang benar-benar efektif untuk membuka jalur atau mengangkat material besar. Selebihnya, pencarian mengandalkan insting.
“Di mana ada bau, kami telusuri. Kalau ada potensi, baru kami hubungi Basarnas,” ujarnya
Menjadi anggota tim SAR bukanlah profesi utama Narso, yang merupakan seorang petani. Awalnya, informasi mengenai bencana banjir bandang ia dapati dari grup di Whatsapp. Dia mengatakan, segera mengumpulkan teman-teman dan membentuk tim SAR.
Dia mengatakan, profesi ini merupakan penggilan jiwa. Setiap ada bencana alam, Narso mengatakan selalu siap menjadi relawan tim SAR.
"Bagaimana saya menjelaskannya, hati saya bergerak. Ini panggilan jiwa," kata warga Kabupaten Dharmasraya itu.

