Cek Data: Mengapa Banyak Masyarakat Berobat ke Dukun seperti Ida Dayak
Orang berbondong-bondong antre berjam-jam untuk mendapatkan pengobatan dari Ibu Ida Dayak di Kota Depok. Berkat media sosial TikTok, banyak orang percaya perempuan asal Kalimantan Timur ini dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
Ini bukan kali pertama Indonesia dihebohkan dengan orang “sakti” yang dianggap mampu mengobati banyak penyakit tanpa metode medis. Beberapa dari kita mungkin ingat bocah ajaib Ponari yang heboh sekitar 2009 silam. Mengapa masih banyak dari kita yang percaya pengobatan alternatif ini?
Kontroversi
Ida Dayak mengobati pasien-pasiennya dengan minyak bintang berwarna merah. Dengan pengobatan ini, Ida Dayak terlihat berhasil menyembuhkan penyakit mulai dari patah tulang, stroke, bahkan hingga menyembuhkan pasien tuli.
Ramainya pengobatan alternatif ini pun mengundang pendapat dari ranah medis. Asa Ibrahim, seorang dokter spesialis ortopedi yang berpraktik di RS Awal Bros Panam, Pekanbaru, Riau mengingatkan banyak orang juga pernah percaya dengan pengobatan alternatif yang dilakukan Ponari.
Namun, hasil pengobatan ini justru banyak yang tidak menyembuhkan pasiennya. Katanya, beberapa pasien ada yang tambah parah bahkan hingga meninggal.
“Pasiennya ya berobat lagi ke dokter ujung-ujungnya,” kata Asa di akun Twitter-nya.
Sekedar mengingatkan, ribuan orang pernah kegocek, ponari jadi kaya raya(sempat).beberapa pasien sempat ada yang tambah parah bahkan sampe meninggal.
Pasien2nya?ya berobat lagi ke dokter ujung2nya pic.twitter.com/JmR6m3lbh6— dr.Asa ibrahim Sp.OT (@asaibrahim) April 4, 2023
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, dr. Siti Nadia Tarmizi pun turut berkomentar. Dia mengatakan, pengobatan tradisional sebenarnya diperbolehkan tetapi masyarakat perlu hati-hati.
“Kami lakukan pembinaan supaya masyarakat tidak dirugikan, misalnya seseorang yang penyakit kanker jangan sampai terlambat karena berobat tradisional,” kata Nadia, dikutip dari detik, Selasa, 4 April 2023.
Faktanya
Pengobatan tradisional atau alternatif bukan sesuatu yang asing dalam dunia kesehatan di Indonesia. Mengutip Handayani, Suparto, dan Suprapto (2001), Indonesia sudah mendeklarasikan pengobatan tradisional sebagai salah satu area kesehatan yang berpotensi dikembangkan sejak 1988.
Mereka juga menyebut pengobatan alternatif banyak digunakan oleh populasi yang cukup besar di Indonesia. Meski begitu, keamanan dan efektivitas pengobatan ini masih dipertanyakan karena minimnya penelitian terkait yang sistematis dengan sains modern.
“Upaya apa pun untuk menghilangkan praktik ini juga tidak akan berhasil, mengingat pengobatan tradisional juga punya pasarnya sendiri,” kata Handayani, Suparto, dan Suparto dalam “Traditional system of medicine in Indonesia” yang diterbitkan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Selanjutnya, sebenarnya seberapa banyak orang Indonesia yang memanfaatkan pengobatan alternatif ini? Penelitian Pengpid dan Peltzer (2015) mencatat ada 24,4% penduduk Indonesia yang menggunakan pengobatan atau obat tradisional dalam sebulan terakhir.
Penelitian ini menggunakan data survei demografis dan kesehatan Indonesia Family Life Survey (IFLS) yang dilakukan oleh RAND Corporation. Survei ini melibatkan sampel 31.415 orang berumur 15 tahun ke atas yang tersebar di 13 provinsi Indonesia.
Lewat analisis regresi, penelitian ini juga menemukan beberapa karakteristik sosio-demografis yang berhubungan dengan kecenderungan berobat ke pengobatan alternatif. Karakteristik ini termasuk umur yang lebih tua, muslim, hidup di daerah urban, memiliki gejala depresi, dan penyakit kronis.
Penyakit kronis ini termasuk kanker, rematik, kolesterol tinggi, stroke, diabetes, dan penyakit ginjal. Kanker menjadi penyakit dengan persentase pengobatan alternatif tertinggi, yaitu 14,4%. Selanjutnya, 11,3% pengidap rematik dan kolesterol tinggi juga berobat ke pengobatan alternatif.
Sulitnya Akses dan Mahalnya Pengobatan Modern
Penelitian di atas juga menemukan sulitnya akses kesehatan menjadi salah satu faktor individu untuk melakukan pengobatan alternatif. Ini terlihat dari 28,8% orang yang merasa kebutuhan kesehatannya tidak terpenuhi berobat ke pengobatan alternatif dalam sebulan terakhir.
Akses kesehatan yang terbatas ini diperburuk lagi dengan literasi kesehatan yang rendah pula. Literasi kesehatan membantu individu untuk lebih paham soal informasi dan isu kesehatan, juga penentuan keputusan untuk keluhan kesehatan yang dimiliki.
Belum pernah ada studi terkait literasi kesehatan ini yang dilakukan di seluruh Indonesia. Meski begitu, penelitian oleh Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro pernah mengukur literasi kesehatan di Kota Semarang pada 2014.
Hasilnya, sebagian besar atau 53,06% responden studi memiliki literasi kesehatan bermasalah atau problematic. Sebanyak 10,69% responden bahkan memiliki literasi kesehatan yang kurang (inadequate).
Masalah selanjutnya adalah biaya pengobatan tradisional yang jauh lebih murah ketimbang pengobatan modern. Ini bisa terlihat dari data pengeluaran untuk kesehatan yang dikumpulkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS.
Pengeluaran lebih tinggi untuk pengobatan modern ini berlaku untuk pengeluaran pengobatan dan biaya obatnya sendiri. Pada 2021, rata-rata pengeluaran per kapita untuk pengobatan tradisional hanya Rp405. Ini jauh lebih rendah dari pengeluaran untuk praktik dokter klinik yang sebesar Rp1.801.
Perbedaan semakin mencolok ketika harus membandingkan dengan pengeluaran pengobatan di rumah sakit. Rata-rata pengeluaran per kapita di rumah sakit pemerintah mencapai Rp8.041, sementara di rumah sakit swasta mencapai Rp10.011.
Hal serupa juga ditemukan di pengeluaran untuk obat. Rata-rata pengeluaran per kapita untuk obat tradisional atau jamu hanya Rp638. Sementara, biaya untuk obat modern dengan resep sebesar Rp1.793 dan tanpa resep sebesar Rp1.796.
Pemerintah sudah mencoba memudahkan akses kesehatan dengan adanya BPJS Kesehatan. Akan tetapi, nyatanya hadirnya BPJS belum sepenuhnya membantu masyarakat mengakses fasilitas kesehatan.
Ini terlihat dari masih tingginya pengeluaran kesehatan out-of-pocket atau dari kantong sendiri. Cakupan BPJS Kesehatan saat ini mungkin memang sudah mencapai 92,44% saat ini, tetapi pengeluaran out-of-pocket masih berada di angka 31% menurut data WHO.
Persentase pengeluaran out-of-pocket ini jauh lebih tinggi dari Singapura, Thailand, dan Jepang. Singapura memiliki proporsi pengeluaran dari kantong sendiri sebesar 19%, Thailand sebesar 11%, dan Jepang 13%.
Referensi
Pengpid, S., & Peltzer, K. (2018). “Utilization of traditional and complementary medicine in Indonesia: Results of a national survey in 2014–15”. Complementary Therapies in Clinical Practice, 33, 156–163. (Akses 13 April 2023)
Nurjanah, N., Rachmani E., & Soenaryati. S. (2014). “Demography and Social Determinants of Health Literacy Semarang”. Conference: 2nd International Conference on Health Literacy and Health Promotion, Taipei. (Akses 13 April 2023)
Handayani, L., Suparto, H., & Suprapto, A. (2001). “Traditional system of medicine in Indonesia”. Traditional Medicine in Indonesia, 47. (Akses 13 April 2023)
Badan Pusat Statistik (2021). Profil Statistik Kesehatan 2021. (Akses 11 April 2023)
---------------
Jika Anda memiliki pertanyaan atau informasi yang ingin kami periksa datanya, sampaikan melalui email: cekdata@katadata.co.id.