Startup di Luar Jabodetabek Hadapi Tantangan Pendanaan hingga SDM
Mayoritas startup Indonesia berada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Hal itu karena perusahaan rintisan di luar wilayah ini menghadapi sejumlah tantangan, seperti akses pendanaan hingga talenta digital.
Data Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI) pada medio 2019 menunjukan, 52,7% startup berbasis di Jabodetabek. Sebanyak 168 tersebar di Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.
Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Fajar Hutomo mengatakan, minimnya jumlah startup di luar Jabodetabek karena banyaknya hambatan. “Misalnya, akses pendanaan, sumber daya manusia (SDM), dan ekosistem pendukung," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (18/1).
Ia mencatat, investor kurang berminat terhadap startup yang memulai bisnis di luar Jabodetabek. Namun, ia tidak memerinci alasannya.
Akan tetapi, ia mengatakan bahwa perusahaan rintisan di luar Jabodetabek menghadapi minimnya ketersediaan talenta digital. Padahal, SDM berperan penting dalam pertumbuhan bisnis startup.
Secara Nasional, McKinsey dan Bank Dunia memperkirakan Indonesia membutuhkan sembilan juta tenaga digital hingga 2030. Ini artinya, ada kebutuhan 600 ribu pekerja digital per tahun.
Kendala lainnya yakni ekosistem pendukung. Berdasarkan riset East Ventures bertajuk Digital Competitiveness Index (EV-DCI) 2020, daya saing DKI Jakarta merupakan yang terbaik. Skor ibu kota ini 79,7. Lalu, disusul oleh Jawa Barat dengan skor 54,9.
Padahal menurut Fajar, bisnis di luar Jabodetabek cukup potensial bagi startup untuk tumbuh. "Bandung, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Denpasar, dan Medan mempunyai potensi," kata dia.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat, jumlah pengguna internet terbanyak berada di Jawa Barat, yaitu 35,1 juta. Posisi kedua yakni Jawa Tengah 26,5 juta. Lalu, Jawa Timur 23,4 juta.
Meski begitu, pasar di luar Jabodetabek tetap diincar oleh unicorn, salah satunya Bukalapak. Perusahaan e-commerce ini berfokus menyasar kota-kota di level atau tier dua untuk mengejar profit.
Kota tingkat dua yang diincar seperti Yogyakarta, Manado, Solo, Palembang, dan Pekanbaru. "Fokus kami selalu pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta kota-kota tier dua," kata CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin dikutip dari Tech In Asia, Oktober tahun lalu (21/10/2020).
Selain karena potensial, penetrasi e-commerce didominasi wilayah metropolitan. Sedangkan di luar kawasan ini masih rendah. "Hanya 5% penetrasi di kota-kota luar tier satu. Padahal, kalau dipikir lagi, yang membutuhkan di luar wilayah itu," kata Presiden Bukalapak Teddy Oetomo saat konferensi pers virtual, September tahun lalu (11/9/2020).
Meski begitu, perusahaan rintisan di beberapa daerah muncul bermunculan. Salah satunya, startup personal shopper, Titipku yang berbasis di Yogyakarta. Perusahaan ini telah menggaet puluhan ribu UMKM dan ratusan ribu pengguna.
Kemudian, startup fintech urun dana atau crowdfunding Santara asal Sleman, Yogyakarta. Perusahaan yang berdiri pada 2012 ini sudah menyalurkan pembiayaan lebih dari Rp 5 miliar dan menggaet 1.082 pemodal.
Ada juga startup jaringan retail kuliner sehat yang berbasis di Surabaya, Greenly. Saat ini, perusahaan mengoperasikan lima gerai di Surabaya. Satu outlet berada di mal dengan konsep kafe, sementara empat lainnya melayani pesan-antar berkonsep cloud kitchen sehingga konsumen tidak bisa makan di tempat.
Sebelumnya, Chairman Endeavor Indonesia Arif P Rachmat menilai bahwa potensi startup baik di Jabodetabek maupun di luar wilayah ini sama. Oleh karena itu, ia mendorong lebih banyak pengusaha membangun bisnis di daerah.
"Negeri ini butuh lebih banyak high-impact entrepreneur karena mereka dapat membawa Indonesia menjadi negara maju," kata Arif, awal bulan lalu (17/12/2020).