Pandemi Masih Berlanjut, Startup Pendidikan Sasar Pengguna di Desa
- Startup pendidikan Ruangguru menyasar konsumen di daerah terpencil tahun ini
- Diminati investor, dua startup pendidikan Indonesia raih pendanaan awal tahun ini
- Vaksin virus corona mulai didistribusikan, modal ventura menyoroti peran startup pendidikan ke depan
Startup pendidikan seperti Ruangguru mulai menyasar pengguna di daerah terpencil, terluar, dan terdepan (3T). Langkah itu dilakukan ketika modal ventura menyoroti peran perusahaan rintisan di sektor ini, jika vaksinasi Covid-19 berjalan lancar dan pandemi corona usai.
Selama pandemi virus corona, jumlah pengguna platform pendidikan melonjak. Ruangguru misalnya, mencatatkan peningkatan jumlah konsumen 50% menjadi 22 juta pada tahun lalu.
"Lebih dari 22 juta pelajar dan guru merasakan dampak positif Ruangguru," kata Direktur Utama Ruangguru Belva Devara saat konferensi pers virtual ‘Laporan Dampak Ruangguru pada 2020’, Rabu (3/2).
Hal itu karena ada 68,73 juta pelajar yang belajar dari rumah per April 2020 lalu. Secara rinci dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:
Pada tahun ini, Ruangguru mulai menyasar konsumen di daerah terpencil. "Pelajar dan guru di wilayah 3T kesulitan mengakses layanan pembelajaran online. Ini karena tidak ada sinyal," ujar Belva.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), 12.548 desa belum terakses jaringan internet generasi keempat alias 4G. Sebanyak 9.113 di antaranya di wilayah 3T.
Kominfo menargetkan seluruh desa di 3T terakses 4G pada 2022. Meski begitu, Ruangguru memilih untuk merambah konsumen di wilayah itu tahun ini.
Caranya, dengan memasukkan seluruh materi pembelajaran ke dalam USB, sehingga bisa diakses meski tanpa atau dengan sinyal internet yang minim. "Kontennya akan terhubung meski tidak pakai internet. Materi tetap bisa diakses," ujarnya.
Ruangguru juga mengoptimalkan kapasitas bandwidth agar platform bisa diakses meski sinyal internet lemah. "Pengguna di wilayah 3T bisa unduh terlebih dahulu video dengan kapasitas yang ringan. Kemudian video dapat disaksikan secara offline," ujar Belva.
Perusahaan berencana menggandeng lebih banyak pemerintah daerah (pemda) di daerah 3T. “Banyak yang sudah kami pelajari. Pelatihan guru harus lebih efektif, beasiswa diperbanyak, dan lainnya," kata dia.
Pesaingnya, Zenius juga gencar menggaet pemda tahun ini. Perusahaan rintisan ini meluncurkan Sistem Manajemen Pembelajaran gratis untuk guru, lewat kemitraan strategis dengan pemda.
Zenius mengatakan, aplikasinya digunakan oleh lebih dari 6.000 guru di Indonesia. Secara keseluruhan, jumlah penggunanya tumbuh lebih dari 10 kali lipat selama Maret hingga Desember 2020.
Sedangkan jumlah guru di Indonesia dan platform yang banyak dipilih, dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:
Zenius dan Telkomsel juga menggelar Scholarship Test pada tahun lalu. Program ini menyediakan bimbingan kepada lebih dari 15 ribu pelajar SMA dari Banda Aceh hingga Timika.
Pada November 2019, Zenius menyasar pengguna di daerah dengan menyediakan zenius box, laptop, dan proyektor kepada tiga juta guru di pelosok. Zenius box adalah server untuk menyajikan video pembelajaran yang bisa diakses tanpa internet.
Server itu memuat 80 ribu video pembelajaran, sehingga proses belajar-mengajar menjadi lebih interaktif. Untuk menyediakan alat-alat itu, Zenius menggandeng lembaga non-profit We The Teacher.
Keduanya juga menerapkan prototipe pengembangan kerja sama di beberapa wilayah seperti Kalimantan, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Medan.
"Tim developer kami terus berusaha membuat konten video yang 'ramah bandwidth' sehingga bisa diakses bahkan dengan 3G," kata CEO Zenius Rohan Monga kepada Katadata.co.id, Kamis (4/2). "Platform Zenius juga memungkinkan pengguna mengunduh video dan menontonnya secara offline."
Startup pendidikan lainnya, Cakap juga merambah konsumen di daerah. Perusahaan menggaet Telkomsel, Kominfo, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) hingga Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) untuk menyasar pengguna di kota tingkat atau tier tiga.
Berdasarkan laporan Bank Dunia bertajuk ‘‘Edtech in Indonesia, Ready for Take Off?’ pada Mei 2020 lalu, cakupan layanan pendidikan online berpusat di Jawa. Rinciannya dapat dilihat pada Bagan di bawah ini:
Laporan itu berdasarkan survei terhadap 35 startup pendidikan di Nusantara. Sebagian besar dari mereka menawarkan lebih dari satu produk atau layanan.
Investor Kaji Peran Startup Pendidikan di Tengah Vaksinasi
Berdasarkan survei Bank Dunia itu, layanan pendidikan digital di Indonesia setidaknya terbagi menjadi 17 kategori. Rincian pelaku usahanya dapat dilihat pada Bagan di bawah ini:
Sebanyak 62% responden menawarkan produk secara gratis untuk periode tertentu guna menggaet lebih banyak konsumen dan memperluas cakupan layanan. Praktik ini dinilai merugikan perusahaan, karena Bank Dunia mencatat kurang dari 5% pengguna yang mau membayar layanan setelah masa uji coba gratis.
Meski begitu, Asosiasi Modal Ventura untuk Startup lndonesia (Amvesindo) memprediksi bahwa startup sektor ini tetap diminati oleh investor meski pandemi usai. “Ada beberapa macam edtech di Indonesia. Jadi semestinya tetap ada peningkatan,” kata Sekretaris Jenderal Amvesindo sekaligus CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro kepada Katadata.co.id, dua bulan lalu (10/12/2020).
“Mereka mencari konsumen sebanyak-banyaknya terlebih dulu, baru memikirkan monetisasi,” kata Eddi. “Monetisasi itu bisa melalui cross selling, periklanan, data, dan lainnya.”
Chief Investment Strategist Temasek Rohit Sipahimalani pun memperkirakan, investor akan berfokus pada startup sektor pendidikan, kesehatan (healthtech), dan teknologi finansial (fintech) pada tahun ini.
“HealthTech dan EdTech memainkan peran penting selama pandemi Covid-19, dengan tingkat adopsi yang sesuai,” kata Rohit saat konferensi pers virtual terkait ‘e-Conomy SEA 2020’, tiga bulan lalu (24/11/2020).
Di Indonesia, dua startup pendidikan bahkan sudah meraih pendanaan pada awal tahun ini, yaitu Zenius dan Titik Pintar. Akan tetapi, sebagian modal ventura menyoroti perkembangan layanan startup pendidikan di tengah pendistribusian vaksin virus corona.
Mitra di Cowboy Ventures Jomayra Herrera menilai, pelajar mulai terbiasa menggunakan platform pendidikan digital. Namun, perusahaan yang menyasar siswa TK hingga kelas 12, akan sangat menantang dalam menawarkan layanan ke sekolah, terutama di daerah.
“Ini kemungkinan akan menjadi lebih sulit, karena anggaran daerah dan negara bagian semakin ketat,” kata Jomayra dikutip dari Tech Crunch, akhir pekan lalu (28/1). Selain itu, “’alat’ yang tidak menyelesaikan persoalan nyata untuk guru, siswa, dan orang tua, atau yang tak efektif, akan memudar.”
Sedangkan untuk perusahaan yang menargetkan pelajar dewasa, rintangan terbesar yakni mengakuisisi pelanggan dan membangun merek yang benar-benar dapat dipercaya. “Konsumen semakin sadar akan pertanyaan yang harus mereka ajukan (misalnya, hasil kelulusan) dan tidak terlalu (dibodohi) oleh pemasaran,” ujar dia.
Mitra di Dunce Capital John Danner sepakat bahwa layanan pendidikan digital tetap diminati saat pandemi corona usai. Namun, sebagian orang tua meninjau ulang pelajaran yang diterima oleh anak selama belajar online dari rumah.
Ia memperkirakan, startup pendidikan bakal mengadopsi teknologi-teknologi canggih seperti kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dan komputasi awan (cloud). “Sekarang, itu semua tentang pengalaman langsung dan interaksi manusia. Dalam lima tahun, saya pikir kita akan mulai melihat dampak signifikan dari AI yang menggantikan banyak fungsi manusia,” ujarnya.
Hal senada disampaikan oleh mitra di GSV Ventures Deborah Quazzo. “Pendidikan masih tertinggal dalam hal adopsi teknologi dibanding rerata perusahaan (berbasis inovasi),” kata dia.