Cina Persulit Startup Lokal dapat Dana Asing hingga IPO di Luar Negeri
Pemerintah Cina menyiapkan aturan yang akan membatasi secara ketat startup meraih pendanaan asing. Perusahaan rintisan juga bakal dipersulit mencatatkan penawaran saham perdana ke publik atau IPO di bursa luar negeri.
Perencanaan negara, Kementerian Perdagangan, regulator sekuritas dan Bank Sentral di Cina sedang merumuskan aturan daftar hitam tersebut. Namun, belum jelas seberapa luas jangkauan regulasi ini nantinya.
Financial Times melaporkan, sumber yang mengetahui masalah tersebut menyampaikan bahwa aturan tersebut akan menargetkan startup di sektor sensitif, seperti penggunaan data atau yang berpotensi menimbulkan masalah keamanan nasional.
Dua sumber Financial Times yang dekat dengan regulator keuangan juga mengatakan, regulasi berisi daftar hitam itu bertujuan memastikan startup nasional tidak didominasi oleh pemegang saham asing.
"Ini karena pada masa depan, investor asing dikhawatirkan dapat memasukkan uang ke industri tradisional sebagai lawan teknologi,” kata sumber tersebut dikutip dari Financial Times, Rabu (8/12).
Tindakan pemerintah Tiongkok itu diduga merupakan tekanan lanjutan terhadap perusahaan teknologi seperti Alibaba dan Tencent. Beijing sudah menerbitkan setidaknya tujuh aturan dalam meningkatkan pengawasan terhadap raksasa teknologi, sebagai berikut:
- Aturan anti-monopoli yang baru
- Aturan terkait kredit mikro berbasis digital
- Membatasi anak bermain gim online
- Memperketat aturan konten di game online hingga video on-demad (VoD). Salah satunya melarang konten yang menampilkan pria bernampilan feminin
- Melarang fan ‘mengejar bintang’ secara tidak rasional di media sosial
- UU Keamanan data yang baru
- Redistribusi kekayaan
"Kami akan mengambil langkah-langkah yang ditargetkan untuk mendorong lingkungan pasar yang adil dan teratur," kata Menteri Perindustrian dan Teknologi Informasi Xiao Yaqing dikutip dari South China Morning Post (SCMP), Minggu (16/10).
Xiao mengatakan, pemerintahan akan terus meminta pertanggungjawaban perusahaan teknologi, memperkuat pengawasan, dan bekerja dengan badan pemerintah lainnya untuk mengelola industri teknologi.
Sejumlah raksasa teknologi Cina juga beberapa kali menghadapi denda dari otoritas Cina akibat tekanan itu. Yang terbaru, Alibaba, Tencent, dan JD.com menghadapi denda 500 ribu yuan atau Rp 1,1 miliar dari Badan Regulasi Pasar Cina (SAMR) pada November. Ketiganya dianggap melanggar aturan anti-monopoli.
Menurut SAMR, sejumlah raksasa teknologi itu menandatangani kesepakatan bisnis seperti merger dan akuisisi sejak 2012. Setidaknya, ada 34 kesepakatan yang dilakukan oleh Alibaba, Baidu, Tencent, JD.Com hingga Suning.
Kesepakatan itu mencakup akuisisi Alibaba atas perusahaan pemetaan navigasi AutoNavi Software Holdings Co. Selain itu, Tencent mengakuisisi platform kesehatan China Medical Online Co.
Namun mereka tidak melaporkan kesepakatan tersebut kepada otoritas. SAMR menganggap bahwa perusahaan teknologi tersebut melanggar undang-undang anti-monopoli.
Sebelumnya, Alibaba dan anak usaha Tencent, China Literature, dan Shenzhen Hive Box Technology misalnya menerima denda sebesar 1,5 juta yuan atau setara Rp 3,36 miliar pada akhir tahun lalu karena tidak melaporkan akuisisi.
Awal Maret lalu, Beijing kembali mendenda anak usaha Alibaba di bidang kebutuhan pokok atau groseri yakni Nice Tuan dan kepunyaan Tencent, Shixianghui. Perusahaan tersebut diketahui menerapkan skema pembelian berbasis komunitas yang dianggap bisa mengelabui konsumen agar membeli barang.
Di sisi lain, analis Jefferies Thomas Chong menilai, tekanan yang terus menerus berlangsung bagi perusahaan teknologi Cina membawa kekhawatiran investor. Hal ini menyebabkan penurunan harga saham Alibaba hingga Tencent.
CEO Kantor CIO Global Gary Dugan juga menduga, serangan regulasi dari pemerintah ini menekan perusahaan teknologi seperti Alibaba dan Tencent dalam jangka waktu yang lama. Tidak hanya itu, akan ada penambahan lebih banyak sektor yang menjadi sasaran tekanan Beijing.
"Ini kan menjadi waktu yang lama bagi investor untuk khawatir tentang perubahan yang tertunda," kata CEO Kantor CIO Global Gary Dugan pada Agustus (13/8).