Menteri Teten: E-Commerce Tak Bisa Bedakan Produk UMKM dan Impor
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah atau Menkop UKM Teten Masduki mengatakan, e-commerce seperti Shopee, Tokopedia hingga Lazada tak bisa membedakan mana produk UMKM dan impor di platform masing-masing.
“Sekarang e-commerce klaim produk yang dijual bukan dari luar negeri. Kata siapa?” ujar Teten di Kantor Kemenkop UKM, di Jakarta, Rabu (12/7).
“Ketika saya mau buat kebijakan subsidi untuk UMKM di platform online saat pandemi Covid-19, semua pelaku usaha tidak bisa memisahkan mana produk UMKM dan yang impor. Mereka hanya bisa memastikan bahwa yang berjualan adalah UMKM dan mereka tidak bisa pastikan produknya. Jadi jangan bohongi saya,” Teten menambahkan.
Ia pun mendesak Kementerian Perdagangan atau Kemendag merevisi Permendag Nomor 50/2020 yang saat ini baru mengatur perdagangan di e-commerce, bukan social commerce.
Ia mengaku revisi aturan tersebut sudah diwacanakan sejak tahun lalu, namun hingga kini masih belum terbit.
“Itu bukan hanya untuk TikTok, untuk seluruh e-commerce lintas-batas alias cross border commerce. Jadi jangan kemudian saya dianggap anti-TikTok, bukan. Saya hanya mau melindungi produk UMKM supaya ada playing field yang sama dengan produk dari luar, jangan kemudian mereka diberi kemudahan,” ujar Teten.
Produk impor di e-commerce pernah viral di Indonesia pada awal 2021. Saat itu, tagar #ShopeeBunuhUMKM, #SellerAsingBunuhUMKM, dan Mr Hu masuk topik populer di Twitter setelah beberapa warganet mengunggah gambar produk yang mereka beli di e-commerce. Pada paket tertulis nama pengirim Mr Hu, yang alamatnya di Shangxue Industrial Park, Guangdong, Cina.
Perwakilan Shopee Indonesia menegaskan bahwa 98,1% dari empat juta penjual aktif di platform merupakan UMKM. Hanya 0,1% yang merupakan pedagang lintas-negara.
Produk dari penjual lokal masih mendominasi di Shopee yakni 97 %. Secara rinci, penjualan produk UMKM di dalam ekosistem 71,4 %, lintas-negara 3 %, dan sisanya pedagang besar lokal.
Kini, Teten mengkhawatirkan Project S TikTok Shop, karena bisa menekan UMKM. Project S TikTok Shop pertama kali dilaporkan oleh Financial Times pada akhir bulan lalu.
Pengguna di Inggris mulai melihat fitur belanja baru di aplikasi TikTok yang diberi nama ‘Trendy Beat’.
Menteri Teten mengatakan, pemerintah melihat fenomena project S TikTok Shop di Inggris akan merugikan pelaku UMKM jika masuk ke Indonesia. Project S TikTok Shop dicurigai menjadi cara perusahaan mengoleksi data produk yang laris manis di suatu negara, untuk kemudian diproduksi di Cina.
“Di Inggris, 67% algoritme TikTok bisa mengubah kebiasaan konsumen di sana dari yang tidak ingin belanja jadi berbelanja. Ini bisa mengarahkan produk yang mereka bawa dari Cina dan bisa sangat murah sekali,” ujar Teten di Kantor Kemenkop UKM, di Jakarta, Rabu (12/7).
Teten menilai, TikTok Shop menyatukan media sosial, crossborder commerce dan retail online. Dari 21 juta pelaku UMKM yang terhubung ke ekosistem digital, mayoritas yang dijual secara online adalah produk dari Cina.
Ia khawatir, jika hal itu tidak segera ditangani dengan kebijakan tepat, maka pasar e-commerce Tanah Air akan didominasi produk Cina.
Teten menegaskan bahwa ia bukan anti-produk Cina maupun luar negeri. Namun, sebagai upaya untuk melindungi UMKM, produk dari luar negeri harus mengikuti mekanisme impor produk termasuk melengkapi izin edar dari BPOM, memenuhi SNI hingga sertifikasi halal.
“Jika retail online masih diperbolehkan menjual produk impor langsung ke konsumen, UMKM pasti tidak bisa bersaing. Sebab, UMKM dalam negeri jika berjualan harus mempunyai izin edar dari BPOM, sertifikasi halal, dan SNI. Mereka enak langsung,” katanya.