UMKM Merangkul Kembali Konsumen yang Lari ke E-Commerce

Desy Setyowati
29 September 2023, 14:06
tiktok, jualan online, kemendag, Tanah Abang, e-commerce
Katadata/Lenny Septiani
Toko baju Vania di Central Tanah Abang

Jovian meratapi penjualan jam yang menurun selama dua tahun saat pandemi corona. Hingga akhirnya ia memutuskan berjualan online di TikTok Shop pada awal 2023.

Ia memilih TikTok karena media sosial itu tengah populer, terutama di kalangan anak muda. Pemuda 23 tahun itu berjualan secara siaran langsung atau live streaming.

“Lebih menguntungkan berjualan secara live streaming. Setiap hari, minimal ada dua sampai tiga barang yang terjual. Kalau di toko offline, keluar dua saja sudah syukur,” kata pemilik toko jam Regent Arloji di ITC Permata Hijau dua pekan lalu (15/9).

 live streaming di ITC Permata Hijau
live streaming di ITC Permata Hijau (Katadata/Lenny Septiani )

Jam tangan yang ia jual merupakan barang impor dari Thailand, Cina, Swiss, dan sejumlah negara.

Dalam sehari, penjualan bisa mencapai Rp 2 juta – Rp 3 juta melalui TikTok. “Tetapi tergantung harga,” Jovian menambahkan.

Namun ia mengakui bahwa penjualan di TikTok mulai menurun dibandingkan awal tahun. Ia menduga hal ini karena semakin banyak penjual jam yang ikut merambah TikTok Shop.

Senada dengan Jovian, pemilik toko pakaian wanita Nara Fashion di Tanah Abang, Nadya, 22 tahun berjualan secara live streaming sejak awal 2023. Sedangkan toko offline yang ia punya sudah beroperasi selama dua tahun.

“Penjualan di toko sepi, jadi kami live streaming di TikTok. Pada awalnya sedikit penonton, tetapi saya tetap berusaha,” kata Nadya.

“Ini benar-benar merintis usaha live streaming dari tidak ada yang check out atau membeli sama sekali. Beberapa bulan kemarin, mulai banyak yang membeli,” Nadya menambahkan.

live streaming di Pasar Tanah Abang
live streaming di Pasar Tanah Abang (Katadata/Lenny )

Menyadari banyak pedagang yang mulai beralih ke metode berjualan online, Manajemen Central Tanah Abang pun menyediakan toko khusus untuk penjualan secara live streaming di lantai dua sejak 2019.

Namun berdasarkan pantauan Katadata.co.id, baru beberapa toko yang terisi.

Toko baju Vania di Central Tanah Abang
Toko baju Vania di Central Tanah Abang (Katadata/Lenny Septiani)

Manajemen menyampaikan, bagian khusus berjualan online itu dilengkapi dengan situs website khusus yang memungkinkan pedagang membuat toko daring. Ini bertujuan mempermudah pedagang menjangkau konsumen di luar kota maupun luar negeri.

“Harga sewanya lebih murah ketimbang kios online. Selain bisa dicicil,” kata Manajemen Central Tanah Abang.

Namun viral di media sosial, beberapa pedagang di Tanah Abang berusaha berjualan secara live streaming, tetapi sepi penonton. Pemilik toko baju di Central Tanah Abang Vania, misalnya mencatatkan penurunan penjualan secara online.

Ia menduga hal itu karena semakin banyak selebritas atau influencer yang ikut berjualan online. Selain itu, banyak pesaing yang menjual barang dengan harga lebih murah.

“Seharusnya disamakan dengan harga di toko. Harganya jadi seperti grosir, bukan pengecer,” kata Vania.

Toko baju Vania di Central Tanah Abang
Toko baju Vania di Central Tanah Abang (Katadata/Lenny Septiani)

Pakar Marketing dan Managing Partner Inventure Yuswohady mengatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pedagang saat merambah pasar online, di antaranya:

  1. Kualitas
  2. Harga
  3. Nilai produk
  4. Algoritme aplikasi

Algoritme disusun oleh platform seperti Shopee, TikTok, Tokopedia, Lazada dan lainnya. “Kita (pedagang) tidak bisa mengatur. Sementara algoritme memengaruhi mana yang diuntungkan dan dirugikan,” ujar Yuswohady dalam acara Polemik bertajuk ‘Nasib UMKM di Tengah Gemerlap Social Commerce’, Sabtu (16/9).

Untung dan rugi yang dimaksud yakni bagaimana algoritme membuat live streaming atau produk pedagang muncul di halaman depan platform. Dengan begitu, lebih mudah dilihat oleh konsumen.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mengatur platform digital seperti Shopee, TikTok, Lazada hingga Tokopedia dalam menggunakan algoritme supaya tidak merugikan UMKM.

Dari sisi pedagang, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan visibilitas toko dan produk di platform e-commerce dan social commerce, di antaranya:

  • Membangun keterikatan dengan konsumen guna meningkatkan jumlah pengikut toko di platform e-commerce dan social commerce
  • Penjual harus dikenal warganet
  • Membangun brand

“Pemerintah harus memberikan pelatihan kepada pedagang di Tanah Abang supaya bisa berjualan di platform e-commerce dan social commerce dalam skala yang lebih besar,” ujarnya.

Sementara Peneliti Institute for Development of Economics dan Finance atau INDEF Nailul Huda menyampaikan, ada beberapa hal yang membuat live streaming pedagang Tanah Abang di platform e-commerce dan social commerce sepi penonton, yakni:

  • Penjual Tanah Abang merupakan reseller, yang mencari untung dengan mengenakan harga lebih tinggi ketimbang tingkat produsen. Sementara produsen juga melakukan live streaming, dengan harga lebih murah ketimbang reseller.
  • Reseller yang menjual produk impor dari Cina relatif banyak di platform e-commerce dan social commerce. Harga yang dijual lebih murah.

Oleh karena itu, menurutnya pemerintah perlu mengatur masuknya barang impor. Selain itu, bisa meniru cara India mengatur produsen yang ingin berjualan langsung di platform e-commerce dan social commerce.

Sementara Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menilai UMKM Indonesia tak didukung rantai pasok yang mumpuni dan berbasis teknologi. Padahal seingatnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi sudah lama mengingatkan kementerian dan swasta untuk mengadopsi teknologi seperti kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT) guna menggenjot produksi.

“Tidak ada yang mewujudkan bagaimana teknologi digital diaplikasikan ke sistem produksi nasional, industri manufaktur, pertanian, agro maritim, kesehatan dan lainnya,” ujar Teten kepada Katadata.co.id, Sabtu (16/9).

Alhasil, produksi nasional kalah dibandingkan produk impor yang lebih murah karena produksinya lebih efisien dan berkualitas.

“Akibatnya transformasi digital di Indonesia tidak melahirkan ekonomi baru, hanya membunuh ekonomi lama. Kue ekonomi tidak bertambah, tapi faktor pembaginya semakin banyak,” Teten menambahkan.

Ia mencontohkan pasar offline seperti Tanah Abang. Pedagang di pasar ini ikut berjualan online, tetapi tetap kalah dengan produk impor. “Hampir 80% penjual di platform online menjual produk impor, terutama dari Cina,” ujar dia.

Terlebih lagi, perekonomian Cina sedang melemah. Ia menduga produksi barang konsumsi yang kelebihan pasokan di Tiongkok, mulai dijual ke ASEAN.

“Indonesia pasarnya besar dan hampir separuh populasi masuk ke e-commerce,” kata Teten. Belum lagi, tarif bea masuk dinilai terlalu murah.

“Babak belur kita,” Teten menambahkan. “Jangankan UMKM, produk industri manufaktur pun tidak bisa bersaing, terutama produk garmen, kosmetik, sepatu olahraga, farmasi dan lainnya.”

(Halaman selanjutnya: Mengatur Ulang E-Commerce)

Mengatur Ulang E-Commerce

Setelah pembahasan selama beberapa bulan, pemerintah pun memutuskan agar social commerce seperti TikTok memisahkan platform media sosial dan e-commerce. Tujuannya, memastikan UMKM tidak babak belur dihajar oleh banyaknya produk impor yang diperjualbelikan di platform digital.

Namun CEO Momentum Works Jianggan Li menilai, langkah pemerintah Indonesia memaksa TikTok memisahkan platform media sosial dan e-commerce meniru cara Amerika hingga Eropa. “Namun pengaruhnya di Indonesia sangat diragukan,” kata dia dalam keterangan pers, Rabu (27/9).

“Terlepas dari bagaimana pelarangan tersebut diterapkan, traffic konsumen TikTok yang sangat besar akan terus dimanfaatkan untuk e-commerce, melalui TikTok Shop atau cara lain, oleh TikTok atau oleh pihak lain,” Jianggan menambahkan.

Apalagi jumlah pengguna TikTok di Indonesia merupakan yang terbesar kedua di dunia setelah Amerika. Rinciannya sebagai berikut:

Peneliti INDEF Nailul Huda sepakat bahwa TikTok tetap bisa memanfaatkan algoritme untuk mendongkrak penjualan melalui media sosial. Menurutnya, pemerintah perlu mendorong TikTok memperoleh izin sebagai social commerce.

“Praktik pemisahan aplikasi itu sudah biasa dan tidak ada batasan penggunaan data di sister apps untuk kepentingan aplikasi utama,” kata Nailul kepada Katadata.co.id, Senin (25/9).

Pemerintah perlu mengatur terciptanya keadilan dalam berbisnis atau level playing field yang setara antara e-commerce ataupun pedagang offline. Caranya:

  • Mengatur detail social commerce untuk disetarakan dengan e-commerce, mulai dari persyaratan admin hingga perpajakan
  • Semua e-commerce wajib melakukan tag-ing barang impor
  • Produk impor harus menyertakan sertifikasi produk, seperti SNI, halal, BPOM, dan lainnya
  • Memperketat produk impor di e-commerce
  • Memberikan disinsentif terhadap produk impor dengan biaya admin lebih tinggi, tidak boleh mendapatkan promosi dari platform
  • Memberikan insentif bagi produk lokal berupa promosi

Wakil Menteri Kominfo Nezar Patria menilai, TikTok menyadari bahwa Indonesia mempunyai sisi pasar yang dinamis. “Jumlah pengguna TikTok di Indonesia merupakan yang terbesar kedua. Artinya, kita memiliki pasar yang cukup dinamis dan ekonomi yang bertumbuh,” katanya dalam kunjungannya ke sejumlah startup di Bandung, Rabu (27/9).

“Tentu kami ingin menjadi tuan di rumah di negeri sendiri,” Nezar menambahkan.

Kementerian Perdagangan atau Kemendag pun akhirnya menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan alias Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik pada Rabu (27/9).

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan, pertimbangan utama penerbitan regulasi itu yakni untuk melindungi pelaku UMKM. Sebab, pemerintah menemukan ketidakadilan dalam berusaha antara pedagang offline dan online, khususnya yang berjualan di media sosial.

"Di Cina, perdagangan offline itu tidak terganggu oleh platform digital. Justru menambah pasar yang baru. Data-datanya dipaparkan saat sidang kabinet," kata Zulkifli di kantornya, Rabu (27/9).

Oleh karena itu, Permendag Nomor 31 Tahun 2023 itu memuat standardisasi barang di e-commerce. Pelaku usaha wajib menaati semua standar yang berlaku di dalam negeri, seperti sertifikasi halal, pemilikan Standar Nasional Indonesia atau SNI hingga Nomor Izin Edar.

Setidaknya ada tiga revisi dalam aturan tersebut terkait bisnis e-commerce dan social commerce, di antaranya:

1. Penetapan model bisnis social commerce

Social commerce hanya akan memfasilitasi promosi barang atau jasa. Selain itu, dilarang menyediakan fitur transaksi pembayaran.

2. Social commerce wajib menjaga agar tidak ada hubungan antara sistem elektronik e-commerce dengan yang di luar perdagangan elektronik

Sederhananya, aplikasi e-commerce dan media sosial haru harus terpisah.

3. Social commerce wajib menjaga data pengguna sosial media dan tidak boleh digunakan untuk perdagangan elektronik atau perusahaan afiliasi

Artinya, data pengguna di media sosial tidak boleh digunakan oleh perdagangan online.

Reporter: Desy Setyowati, Lenny Septiani, Andi M. Arief

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...