Bank DBS: Kenaikan Harga Minyak Global Picu Risiko Inflasi Domestik
Kenaikan harga komoditas akibat disrupsi perdagangan global, khususnya Bahan Bakar Minyak (BBM), dinilai akan memicu inflasi perekonomian domestik Indonesia dan menambah biaya fiskal untuk mengontrol harga dan subsidi.
Kendati demikian, pemerintah dapat memperoleh keuntungan dari kenaikan harga komoditas apabila dapat memanfaatkan momentum ini untuk meningkatkan pendapatan dari kegiatan ekspor.
Menurut Ekonom Senior Bank DBS Radhika Rao, dalam laporan bertajuk ”Indonesia: Fuel Prices, Subsidies, and Inflation – Balancing Act”, arah kebijakan subsidi pemerintah juga berperan penting dalam dinamika tingkat inflasi seiring meningkatnya harga BBM.
Dalam laporan tersebut Rao berpendapat bahwa inflasi pada Mei 2022 diperkirakan mencapai 3,6 persen year on year (YoY). Namun inflasi akan meningkat sebesar 4,2-4,3 persen apabila pemerintah menaikkan harga BBM dan LPG sebesar 10 persen. Lalu Inflasi akan melonjak menjadi 5,5 persen jika kenaikan energi mencapai 25 persen.
”Kami memperkirakan inflasi ada di angka 3,6 persen dengan catatan tidak ada kenaikan apa pun.” Kata Rao.
Adapun, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 mengasumsikan harga minyak mentah Indonesia meningkat 45 persen dari semula US$68,5 per barel pada 2021 menjadi sebesar US$99,4 per barel dalam rentang Januari - April 2022.
”Dalam menghadapi gap yang semakin lebar antara harga domestik dan internasional, Pertamina menyesuaikan harga tiga varian bahan bakar nonsubsidi bermutu tinggi - Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex,” kata Rao.
Ia juga mengungkapkan pada April 2022, harga Pertamax dinaikkan 39 persen dari sekitar Rp9.000–9.400 per liter menjadi Rp12.500, di mana jenis bahan bakar ini menyumbang 16 persen dari total konsumsi. Adapun, harga jenis bahan bakar subsidi seperti Pertalite dan Premium tidak berubah selama tiga tahun terakhir.
”Jenis bahan bakar subsidi ini mencakup lebih dari 80 persen dari total konsumsi.”
Sementara itu, Rao menuliskan, selama dua-tiga tahun terakhir, varian bensin, gas, dan solar yang biasa digunakan secara subsidi, dan tarif listrik untuk rumah tangga berpenghasilan rendah, juga tidak berubah.
”Berdasarkan bobot varian bahan bakar ini, setiap kenaikan 10 persen pada bensin dan solar akan menambah 0,4 poin persetase inflasi. Dampak kumulatif ini akan diperbesar melalui kategori produk lainnya,” ujar Rao.
Selanjutnya, Bank DBS menghitung, pada kuartal I-2022, total subsidi naik 80 persen, di mana untuk energi telah meningkat sebesar 55 persen. Ditambah dengan kompensasi yang harus dibayarkan kepada Pertamina sebesar Rp49,5 triliun pada 2020, dengan perincian Rp15,9 triliun menunggu dan Rp68,5 triliun pada 2021.
”Ini mungkin jauh lebih tinggi dari yang dianggarkan sebesar Rp140 triliun pada 2022, menurut pengamat industri,” kata Rao.
Dengan asumsi kenaikan 20 persen dalam total subsidi di samping kompensasi yang harus dikeluarkan untuk perusahaan minyak milik negara, pemerintah membutuhkan anggaran lebih atau pencadangan 0,4 persen dari PDB untuk menjaga defisit di level 4,85 persen seperti yang ditetapkan dalam APBN 2022.
Sinyal positif lainnya kenaikan harga komoditas akan menguntungkan pemerintah melalui peningkatan pendapatan dari sumber daya alam, yang naik dua kali lipat pada kuartal I-2022.
”Peningkatan ini mengalami penglipatgandaan dibandingkan tahun lalu,” ujar Rao.
Komponen pendapatan itu, terhitung dari sepertiga Pendapatan Negaran Bukan pajak (PNBP) dan 10 persen dari total pendapatan pajak. Di antara subsegmen utama, setengahnya terdiri dari minyak dan gas 25 persen, dan pertambangan umum 22 persen dari keseluruhan pendapatan pada 2020.
Bank DBS menengarai, peningkatan pendapatan ini berpotensi menutup setengah dari kenaikan subsidi. Kendati di samping itu terdapat dua opsi kebijakan, yaitu penyesuaian harga bahan bakar bersubsidi atau memprioritaskan pengeluaran untuk memperbesar ruang bagi biaya subsidi yang lebih tinggi.
Namun kedua opsi itu memiliki dampak tersendiri bagi pertumbuhan ekonomi. Sebab kegiatan perekonomian domestik membutuhkan pendapatan tambahan di luar aktivitas pemulihan ekonomi. Hal ini akan berdampak pada potensi keuntungan di momentum paruh kedua tahun ini.
Lebih lanjut, dinamika pasar mengindikasikan adanya peningkatan harga bahan bakar domestik. Peningkatan ini dipicu oleh lonjakan harga di tingkat global dan tekanan yang relatif lebih rendah terhadap keuangan perusahaan minyak negara, PT Pertamina yang akan menerima kenaikan kompensasi bersama Perusahaan Listrik Negara (PLN).
”Oleh karena itu, pandangan kami harga bahan bakar mungkin sebagian akan disesuaikan pada Juni atau kuartal ketiga 2022,” ujarnya.
Untuk kebijakan moneter, pertumbuhan yang kuat memberikan ruang kepada pembuat kebijakan dalam memantau risiko stabilitas harga dan pasar keuangan di tengah disrupsi perdagangan global yang semakin ketat.
Sementara itu, Kementerian Keuangan justru menaikkan alokasi subsidi untuk memberikan keringanan untuk konsumen. Upaya ini dilakukan agar inflasi dapat dibatasi dan daya beli masyarakat tetap terjaga.
Sejalan dengan kenaikan alokasi subsidi, biaya fiskal diperkirakan akan meningkat. Total pengeluaran untuk 2022 direvisi menjadi sebesar Rp3.106 triliun, naik sekitar Rp392 miliar dari proyeksi sebelumnya. Hal ini dipicu oleh adanya kenaikan subsisi energi 56 persen.
Merespons dinamika inflasi tersebut, Bank Indonesia telah menegaskan akan memantau first order effect dari penyesuaian BBM bersubsidi. Artinya, Bank Indonesia cenderung memantau inflasi inti yang dapat bergerak ke level tertinggi, dan tidak memusatkan perhatian terhadap tekanan inflasi struktural.
”BI mungkin akan melakukan kenaikan suku bunga GWM (Giro Wajib Minimal) lain, sebelum mengubah panduannya dan menaikkan suku bunga acuan,” ujarnya.
Ia juga melanjutkan bahwa pergeseran hawkish dalam panduan kemungkinan terjadi pada Juni atau Juli, yang akan diikuti oleh kenaikan suku bunga.
Bank DBS juga memperkirakan, inflasi inti semakin menguat seiring munculnya tekanan dari risiko pengambilan aset domestik, kendati dapat dimitigasi oleh neraca perdagangan yang kuat.
Hal ini diperkirakan akan memicu kenaikan kumulatif sebesar 75 based points (bps) pada 2022.
Bank DBS menghitung, pendapatan dari Sumber Daya Alam (SDA) akan meningkat sebesar 2,3 persen dari PDB. Oleh karena itu, proyeksi pendapatan telah direvisi dari Rp1846 triliun menjadi Rp 2226 triliun. Selain itu defisit fiskal kemungkinan akan menyentuh rata-rata -4,5 persen dari PDB, lebih rendah dari yang dianggarkan, yaitu -4,95 persen.
“Ini dapat dibandingkan dengan ekspektasi dari Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang dapat menaikkan suku bunga lagi sebesar 175 bps di akhir 2022,” kata dia
Rao menambahkan bahwa bank sentral regional juga mulai memperketat kebijakan moneter, seperti langkah back to back BNM dan RBI oleh MAS Singapura.
Tentunya hal ini akan mendorong pembuat kebijakan mesti menempuh langkah-langkah strategis, seperti meletakkan dasar untuk poros hawkish dan memperhitungkan PDB kuartal I-2022 yang kuat.
Pemerintah juga harus merespon kenaikan inflasi dan mata uang yang lebih lemah, serta melonggarkan pengaturan kebijakan yang akomodatif.
Baca artikel inspiratif lainnya pada https://www.dbs.id/id/treasures/aics/home.page