Cegah Bisnis Tutup, Ragam Jurus Bertahan E-commerce di Masa Pandemi
Platform e-commerce Blanja.com, Sorabel, dan Stoqo menutup operasionalnya di Indonesia di tengah pandemi corona. Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) setidaknya ada sejumlah strategi utama yang bisa menjadi pelajaran bagi startup e-commerce agar tetap bertahan dalam situasi saat ini.
Ketua Umum idEA Bima Laga mengatakan, ada banyak hal melatari perusahaan e-commerce menutup bisnisnya. Dia mencontohkan yang terjadi pada penutupan portal Blanja.com milik Telkom Grup.
Penutupan terjadi adanya perubahan transformasi perusahaan, fokus industri, rencana strategis jangka panjang dalam rangka meningkatkan profitabilitas perusahaan.
Telkom Group sebelumnya menyatakan akan merubah strategi bisnis perusahaan di segmen korporasi, serta Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Berkaca pada kasus penutupan e-commerce lainnya, dia menyatakan dasar-dasar manajemen perusahaan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan. Hal ini juga harus diikuti pengaturan arus kas, strategi efisiensi dan pengembangan perusahaan.
Selain itu, bisnis juga harus dijalankan dengan berbasis data. Misalnya, selalu mantau data transaksi produk apa saja yang penjulannya positif. Lalu berikutnya, melihat setiap peluang bisnis yang bisa diraih dengan mengembangkan produk atau layanan sesuai kebutuhan pasar.
"Di saat pandemi ini, justru banyak kesempatan-kesempataan yang terbuka," ujar Bima kepada Katadata.co.id, Kamis (3/9).
Ketua Asosiasi Modal Ventura Indonesia (Amvesindo) Jefri Sirait mengatakan, selama pandemi corona banyak e-commerce yang sudah mulai melakukan strategi pivoting untuk menjual produk secara online.
Pivot adalah aktivitas pengembangan usaha dengan mengubah model bisnis, namun tetap mempertahankan visi. Istilah ini diambil dari gerakan pada olahraga basket, mengubah arah dengan berpijak pada salah satu kaki.
Menurut Jefri, secara umum ditengah permintaan menurun (less demand), ada permintaan beberapa produk tertentu yang meningkat. Alhasil, persaingan di e-commerce pun semakin ketat.
"Jadi, e-commerce harus semakin cerdik meletakkan produk dan layanan yang tepat serta mempunyai komunikasi yang efektif pada pelanggan online," ujar Jefri kepada Katadata.co.id, Kamis (3/9).
Partner East Ventures Melisa Irene mengungkapkan hal berbeda. Menurutnya, kunci dari kemampuan bertahan e-commerce selama pandemi terletak pada fundamental bisnis dan skala ekonomi bisnis yang sehat.
"Untuk mencapai ini, biaya marketing produk harus efisien supaya margin keuntungan bisa stabil," katanya kepada Katadata.
Ia pun mencontohkan, unicorn seperti Tokopedia yang dinilai mempunyai kekuatan lebih dibanding pemain e-commerce lain. Menurut Melisa, perusahaan tersebut memiliki sumber daya untuk menarik lebih banyak konsumen lewat biaya pemasaran digital yang disubsidi, termasuk menawarkan produk dengan harga terjangkau.
"Jika pemain baru tidak punya nilai tambah atau penawaran yang unik dan hanya mengandalkan harga diskon, mereka tidak akan mampu bersaing dengan unicorn bermodal besar," ujar Melisa.
Agar bisa bersaing dengan pemain besar yang sudah ada, pelaku usaha e-commerce baru harus lebih dulu kuat secara vertikal. Artinya, perusahaan harus menguasai aspek-aspek dari unit-unit ekonomi seperti sumber suplai (product sourcing), efisiensi logistik, dan optimasi pasar.
Startegi lain e-commerce dalam bertahan selama pandemi yakni dengan pengelolaan keuangan keuangan dengan bijak. Namun, CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro mengatakan, tidak semua startup akan bertahan meski bergerak pada sektor yang diuntungkan oleh adanya pandemi.
Pengeluaran promosi yang besar atau 'bakar uang' akan mempengaruhi daya tahan startup. "Untuk bisa bertahan juga ditentukan oleh user experience dan ketersediaan barang," katanya beberapa waktu lalu.
Untuk diketahui, di tengah banyaknya tantangan usaha selama pandemi Covid-19, sejumlah e-commerce mengumumkan rencana penutupan bisnis. Terbaru, Blanja.com akan menyetop operasionalnya pada Oktober 2020.
Perusahaan patungan (joint venture) milik Telkom Grup dengan eBay asal Amerika Serikat (AS) ini resmi dibentuk pada 2014.
Selain itu, Sorabel dan Stoqo menghentikan operasionalnya di Indonesia. Stoqo yang mengusung model business-to-business (B2B) resmi tutup pada April diikuti langkah serupa dari Sorabel pada Juli 2020.
Sorabel menyasar segmen menengah ke bawah. Namun, sebagian masyarakat pada segmen ini terpukul pandemi virus corona.
“Covid-19 menyerang pada titik paling rentan dalam strategi pendanaan dan menghancurkan basis pelanggan inti kami,” kata Co-Founder Sorabel Jeffrey Yuwono, dikutip dari e27, akhir Juli lalu.
Meski begitu, Yuwono berencana membangun bisnis Sorabel secara offline. “Sekarang kami benar-benar memiliki merek yang berdiri untuk fashion, kami siap mencoba secara offline. Jadi saya berharap bisa membukanya secepatnya," kata dia, dikutip dari e27, pada pertengahan Agustus.