Brand Berbondong-Bondong Tinggalkan Marketplace, Beralih Ke Mana?
Tren terbaru menunjukkan bahwa platform marketplace mulai ditinggalkan sebagai kanal penjualan. Di Amerika Serikat, sejumlah brand besar seperti IKEA, Nike, Birkenstock, dan PopSockets mulai berbondong-bondong meninggalkan marketplace seperti Amazon.
Di level domestik, tren peralihan brand dari marketplace juga mulai terlihat. Pada 2021 misalnya brand fashion lokal heymale.id dan heylocal.id memutuskan untuk meninggalkan marketplace dan membangun situs penjualan mereka sendiri. Founder heymale.id Dimas Mairyan menuturkan bahwa pemasukan menjadi alasannya.
“Produk kami hampir selalu habis dalam hitungan jam ketika diluncurkan. Namun pemasukan yang kami terima tidak bisa langsung dicairkan karena harus melalui beberapa tahapan di marketplace. Daripada kami stuck, lebih baik kami jual di situs kami sendiri," ujar Dimas
Co-Founder sekaligus CEO CommerceTools Dirk Hoerig mengungkapkan bahwa eksodus pelaku usaha dari marketplace didorong oleh keinginan untuk mempererat hubungan dengan konsumen.
“Kelemahan utama dari ketergantungan terhadap wholesale atau marketplace adalah merosotnya brand experience. Saat brand menjual melalui pihak ketiga, mereka mengorbankan kendali atas bagaimana produk mereka ditampilkan dan disajikan kepada konsumen. Pada akhirnya, itu berarti mereka tidak sepenuhnya memiliki hubungan konsumen,” terang Hoerig.
Alasan lainnya, yakni biaya operasional, diungkapkan oleh Eric Bandholz, founder perusahaan produk perawatan pria Beardbrand. Lebih lanjut Bandholz menyebut menjamurnya produk palsu atau tiruan dan masalah pengiriman barang menjadi faktor yang pendorong lainnya untuk meninggalkan marketplace. Amazon sendiri diketahui mengutip komisi sebesar 8 persen hingga 15 persen tergantung kategori produk yang dijual.
Di dalam negeri, kenaikan biaya operasional dialami oleh para merchant yang memanfaatkan Shopee dan Tokopedia. Tarif baru tersebut mulai diberlakukan per 2023.
Dilansir dari laman Seller Tokopedia, biaya layanan akan dihitung berdasarkan kategori produk yang terjual. Besarannya mulai dari 1 persen hingga 3,8 persen tergantung pada kategori produk dan level keanggotaan (Regular, Power Merchant, Power Merchant Pro). Sementara untuk Shopee, besaran biaya layanan berkisar antara 2,8 persen hingga 4,7 persen tergantung pada kategori produk dan level keanggotaan (Regular Seller, Star Seller, Star Seller+, atau Shopee Mall).
Terkait kepercayaan konsumen, hal itu menjadi isu yang paling diperhatikan oleh para merchant Amazon menurut laporan Bazaarvoice pada 2020.
Survei lainnya dari Modern Retail mengungkapkan bahwa 71 persen brand mengaku Amazon menempatkan kepentingan mereka di atas kepentingan brand yang menjadi mitra. Sumber yang sama juga menunjukkan bahwa 41 persen brand menganggap bahwa Amazon bukan mitra terpercaya.
Merujuk pada riset lainnya dari Feedvisor pada 2019 tentang Amazon - yang juga melibatkan 85 persen penjual di Amazon - motivasi utama dari Amazon adalah untuk mengakuisisi pelanggan.
Selain itu, kemitraan dengan marketplace juga mempersulit brand untuk mengakses data konsumen. Padahal, data konsumen berperan krusial bagi brand agar lebih memahami, berkomunikasi, dan membangun engagement dengan target pasar.
Data pelanggan mempermudah bisnis untuk memahami apa yang diinginkan konsumen dari sebuah brand, produk spesifik yang mereka butuhkan serta cara dan kanal interaksi dengan brand yang mereka sukai.
Tanpa adanya akses terhadap data, upaya brand untuk mempererat hubungan dengan konsumennya kian sulit.
Agensi digital marketing Galactic Fed memproyeksikan bahwa model penjualan business to consumer (B2C) akan menjadi tren terbaru di masa depan. Salah satu terobosan yang hadir untuk langsung menjangkau konsumen adalah dengan optimalisasi social commerce.
Social commerce sendiri merupakan aktivitas jual beli barang atau jasa yang dilakukan oleh brand atau pelaku usaha lewat media sosial. Dalam hal ini, brand atau pelaku usaha tidak menjadikan laman media sosial mereka sebagai etalase semata, melainkan konsumen dapat menyelesaikan seluruh proses pembelian tanpa meninggalkan aplikasi media sosial tersebut.
Dengan social commerce, brand atau pelaku usaha tidak perlu untuk membuat official account layaknya yang mereka lakukan di marketplace. Namun, mereka yang memiliki situs web dengan juga dapat memperoleh benefit dari mengalihkan konsumen ke situs web mereka. Empat social commerce terbesar saat ini adalah adalah Facebook Shop, Instagram Shop, TikTok Shop, dan Pinterest.
Berdasarkan data Statista, jumlah pengguna internet pada 2022 mencapai 5,07 miliar jiwa, sementara jumlah pengguna media sosial mencapai 4,7 miliar jiwa. Artinya lebih dari 70 persen penduduk dunia saat ini menggunakan media sosial.
Data lain yang dihimpun oleh GWI, We Are Social dan Hootsuite pada 2021 menunjukkan bahwa media sosial diakses oleh 96 persen pengguna internet global, diikuti oleh aplikasi chatting 95 persen dan mesin pencari 84 persen.
Tak hanya jumlah pengguna, eksistensi social commerce juga didorong oleh tingginya frekuensi penggunaan media sosial. Riset GWI menyebut pengguna umumnya menghabiskan 15 persen waktu mereka untuk mengakses media sosial.
Berkaca pada angka tersebut, social commerce menyimpan potensi besar untuk menjaring pasar dan mendulang profit bagi brand dan pelaku usaha sehingga eksodus mereka dari marketplace bukanlah hal yang mengherankan. Laporan Sprout Social menunjukkan 73 persen brand telah melakukan social commerce sementara 80 persen lainnya mempertimbangkan untuk melakukannya dalam kurun waktu tiga tahun.
Bicara nominal, di Amerika Serikat nilai penjualan di social commerce pada 2022 mencapai US$ 45,74 miliar menurut laporan e-Marketer. Angka tersebut diproyeksikan meningkat menjadi US$ 79,64 miliar pada 2025 mendatang. Di level domestik, penjualan lewat social commerce di 2022 mencapai US$ 25 miliar menurut Sirclo.
Di samping optimalisasi media sosial, strategi lainnya adalah pemanfaatan omnichannel seperti SleekFlow yang memungkinkan brand atau pelaku usaha mengelola bisnis mereka di berbagai kanal termasuk media sosial. Data SleekFlow juga mengungkapkan bahwa 1 dari 5 penjualan retail di Asia Tenggara dilakukan melalui media sosial.
Berbekal suntikan dana sebesar US$ 8 miliar dari Tiger Global serta pengalaman melayani lebih dari 5.000 klien global, perusahaan SaaS (Software as a Service) tersebut kini berekspansi ke Indonesia.
Founder dan CEO SleekFlow Henson Tsai menuturkan Indonesia merupakan pasar e-commerce dengan pertumbuhan tercepat di kawasan ASEAN dengan nilai yang diproyeksikan mencapai US$ 53,8 miliar pada 2025.
Menurut Henson, hadirnya SleekFlow di Indonesia dapat menjadi akselerator penjualan untuk para pelaku usaha.
SleekFlow telah mengembangkan solusi WhatsApp Cloud API, fitur chat-and-pay, serta integrasi Microsoft 365, Salesforce, dan Hubspot untuk optimalisasi social selling bagi brand dan membantu meningkatkan social commerce.
General Manager SleekFlow Asnawi Jufrie menuturkan tim SleekFlow di Indonesia akan menghadirkan platform social commerce terpadu yang menggabungkan percakapan, katalog produk, solusi pembayaran, dan manajemen pesanan menjadi satu untuk bisnis lintas industri.