Tiga Dampak Buruk Bila Pemerintah Moratorium Izin Pinjaman Online
Pemerintah akan memberlakukan moratorium atau penundaan penerbitan izin penyelenggara teknologi finansial pembiayaan (fintech lending). Langkah untuk memberantas pinjaman online atau pinjol ilegal ini dianggap akan memberi dampak buruk terhadap industri.
Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda mengatakan, dampak buruk pertama, moratorium akan membuat fintech lending baru kesulitan beroperasi. "Padahal, banyak perusahaan fintech lending yang baru sebenarnya mampu menjadi legal, tapi memutuskan untuk ilegal karena moratorium ini," katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (19/10).
Kedua, moratorium akan membuat nilai penyaluran pinjaman fintech lending melambat. Sebab, hanya sedikit saja pemain yang dapat menyalurkan kredit terutama kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). "Akan ada waktu yang lebih panjang agar bisa memenuhi permintaan pendanaan," kata dia.
Ketiga, persaingan fintech lending akan mengerucut kepada segelintir pemain. "Ini bisa menimbulkan persaingan usaha tidak sehat," katanya. Fintech lending juga kemungkinan akan menjalankan aksi korporasi baik merger maupun akusisi.
DSResearch dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) juga menyebutkan hanya 4,9% perusahaan yang menyalurkan pinjaman melebihi Rp 3 triliun. Mereka adalah Kredivo, Pendanaan.com, Uangme, Kredit Pintar, Asetku, Investree, dan Modalku.
Mayoritas fintech menyalurkan di bawah Rp 3 triliun, yakni sebesar 48,6% menyalurkan pinjaman di bawah Rp 50 miliar.
Katadata.co.id telah meminta tanggapan kepada AFPI terkait dengan rencana moratorium fintech lending dari pemerintah. Namun, hingga berita ini dirilis belum ada tanggapan dari AFPI.
Pembekuan izin fintech lending baru ini atas arahan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas yang digelar pada pekan lalu (15/10). Kominfo bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menunda penerbitan penyelenggara sistem elektronik untuk pinjaman online yang baru.
Sebelum kebijakan ini OJK juga melakukan moratorium fintech lending pada akhir tahun lalu. OJK juga menambah persyaratan pendaftaran fintech lending yang bertujuan meningkatkan kualitas bisnis dan layanan. Otoritas misalnya akan mengatur penyertaan modal inti, yang masuk dalam rancangan Peraturan OJK (POJK) Nomor 77.
Dalam beleid itu, OJK meminta penyelenggara fintech lending meningkatkan jumlah ketentuan modal inti yang harus disetor dari minimal Rp 2,5 miliar menjadi Rp 15 miliar. Ini harus dipenuhi ketika mengajukan perizinan.
Imbasnya, jumlah penyelenggara teknologi fintech lending di Indonesia terus menyusut. Berdasarkan data OJK, jumlah fintech lending terdaftar mencapai 164 pada 2019. Jumlahnya turun menjadi 152 pada akhir tahun lalu.
Saat ini, OJK mencatat, jumlah fintech lending hanya 107. Hanya 42 penyelenggara yang mengembalikan tanda daftar sejak awal tahun.