Startup Pembuat Vaksin – Deteksi Kanker Hadapi Tantangan Infrastruktur
Startup bioteknologi dinilai potensial, terutama di tengah pandemi corona. Namun perusahaan rintisan di sektor ini menghadapi sejumlah kendala, salah satunya infrastruktur.
Perusahaan rintisan bioteknologi asal Singapura MiRXES mengungkapkan sejumlah kendala yang dihadapinya, seperti infrastruktur riset dan pengembangan (R&D) dan komersialisasi.
Co-founder sekaligus CEO MiRXES Zhou Lihan mengatakan, sektor bioteknologi tergolong sebagai ceruk pasar (niche) khusus di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Namun potensinya besar.
Sebab, startup di sektor bioteknologi dibutuhkan dalam hal pengembangan vaksin corona. Sebagaimana diketahui, di bidang medis, bioteknologi bisa diterapkan untuk penemuan vaksin, antibiotik hingga insulin.
Bioteknologi juga bisa diterapkan untuk rekayasa genetika, kultur jaringan, DNA rekombinan, pengembangbiakan sel induk, kloning, dan lainnya. "Bioteknologi akan mampu mengembangkan sesuatu untuk meningkatkan kekuatan klinis," kata Zhou dalam acara Tech in Asia Conference 2021, Rabu (13/10).
Namun, startup di sektor bioteknologi menghadapi sejumlah kendala di antaranya:
1. Infrastruktur penelitian dan pengembangan atau R&D
2. Pengenalan produk bioteknologi masih minim
"Bagaimana menjelaskan teknologi ini, itu masih menjadi tantangan," kata Zhou.
3. Komersialisasi produk
"Kami harus memikirkan bagaimana integrasi produk ini, dan mengomersialkannya di pasar," ujar Zhou.
MiRXES merupakan startup bioteknologi yang berbasis di Singapura. Startup yang berdiri pada 2014 ini berekspansi ke sejumlah negara di Asia Tenggara, Amerika Serikat (AS), Cina hingga Jepang.
Startup itu menyediakan sejumlah layanan, seperti deteksi kanker, tes onkologi hingga solusi penyakit infeksi.
Indonesia juga mempunyai startup yang bergerak di sektor bioteknologi, salah satunya Nusantics. Perusahaan rintisan ini didirikan oleh Sharlini Eriza Putri, Vincent Kurniawan, dan Revata Utama pada 2019.
Sharlini meraih gelar insinyur di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Imperial College London, sedangkan Vincent lulusan CSPU-Pomona, AS. Lalu, Revata merupakan ilmuwan di bidang bioteknologi genomika, lulusan National University of Singapore.
Nusantics mengklaim sebagai startup lokal pertama yang dapat menganalisis profil mikrobioma. Dalam pengertian sederhana, mikrobioma adalah ekosistem kompleks yang terdiri dari mikroorganisme seperti bakteri, virus hingga jamur yang hidup di permukaan dan dalam tubuh semua makhluk hidup, termasuk manusia.
Setiap orang memiliki profil mikrobioma unik yang berperan penting dalam sistem imunitas mereka. “Mereka (mikrobioma) berperan penting dalam menciptakan ekosistem yang sehat, tetapi juga menjadi faktor utama dibalik terjadinya pandemi global," kata Co-founder dan CEO Nusantics Sharlini Eriza Putrie dalam siaran pers, tahun lalu (20/3/2020).
Namun, perusahaan rintisan itu mengembangkan teknologi untuk berfokus menyasar sektor kecantikan. Berdasarkan riset Nielsen dan EuroMonitor bertajuk Beauty Market Survey, nilai pasar kecantikan di Indonesia mencapai Rp 36 triliun pada 2018. Sekitar 31,7% di antaranya berasal dari produk perawatan kulit.