Riset: Hoaks di Facebook 6 Kali Lebih Disukai Dibandingkan Fakta
Universitas New York dan Université Grenoble Alpes Prancis membuat riset yang menunjukkan konten berita bohong atau hoaks di Facebook lebih disukai enam kali lipat dibandingkan konten fakta.
Dikutip dari The Washington Post, para peneliti di Universitas New York dan Université Grenoble Alpes Prancis meriset itu dari Agustus 2020 hingga Januari 2021. Dalam risetnya, para peneliti mengandalkan kategorisasi berita dari dua organisasi yang mempelajari informasi salah atau hoaks, yakni NewsGuard dan Media Bias/Fact Check.
Peneliti mengkategorikan penerbit yang dikenal dengan informasi salah, seperti Occupy Demokrat, Dan Bongino dan Breitbart. Kemudian, dibandingkan dengan informasi fakta. Peneliti kemudian mengambil 2.551 halaman artikel berita dan membandingkan interaksi pada posting di halaman Facebook.
Hasilnya, artikel dari penerbit yang dikenal dengan misinformasi diketahui menerima enam kali lebih banyak interaksi seperti suka (likes) dan bagikan (share) dibandingkan artikel berita yang bersifat fakta.
Direktur di The Institute for Data, Democracy, and Politics Universitas George Washington Dr Rebekah Tromble mengatakan, studi itu membuat semakin banyak bukti bahwa Facebook menjadi rumah bagi para penyebar hoaks.
"Terlepas dari berbagai upaya mitigasi informasi yang salah oleh Facebook, tapi para penyebar hoaks memang telah menemukan rumah yang nyaman untuk terlibat dengan audiens di Facebook,” kata Rebekah Tromble dikutip dari The Washington Post, pada akhir pekan lalu (4/9).
Ia juga mengatakan sudah waktunya bagi Facebook untuk tutup mulut dan menjadikan studi sebagai bentuk pengawasan eksternal independen. "Hentikan pengulangan yang melelahkan ini," katanya.
Facebook kemudian melawan. Juru bicara perusahaan mengatakan bahwa penelitian ini tidak menunjukkan gambaran lengkap mengenai konten hoaks di platform. Menurut Facebook, studi hanya melihat keterlibatan konten dan audiens dari sisi halaman Facebook saja.
"Itu hanya mewakili jumlah yang sangat kecil dari semua konten di Facebook,” kata juru bicara Facebook.
Dia juga menambahkan, Facebook selalu berupaya untuk menghentikan berbagai konten hoaks bertebaran di platform. Perusahaan misalnya, memiliki 80 mitra pemeriksa fakta yang mencakup lebih dari 60 bahasa yang berfungsi untuk memberi label dan mengurangi penyebaran informasi palsu.
Perusahaan juga menghapus konten yang mengandung informasi salah. Facebook telah menghapus lebih dari 18 juta informasi yang salah pada kuartal pertama tahun ini.
Facebook juga menayangkan laporan transparansinya bulan lalu. "Ini mewakili gambaran yang lebih lengkap dari apa yang dilihat orang di Facebook," kata Facebook dikutip dari Business Insider pada Agustus lalu (23/8).
Dalam laporan transparansinya, Facebook menganalisis data berbagai konten, terutama terkait dengan hoaks vaksinasi Covid-19. Facebook menggunakan layanan pelacakan CrowdTangle dalam menganalisis data.
Selain menganalisis konten, perusahaan juga menghentikan unggahan yang berisi informasi palsu tentang Covid-19. Facebook juga melarang konten yang membuat orang enggan vaksinasi.
Selama pandemi, banyak pihak yang mengkritik Facebook karena dianggap tidak transparan dan tidak bisa mengendalikan konten hoaks, terutama terkait dengan Covid-19 dan vaksin. Bahkan, Presiden AS Joe Biden menyebut bahwa platform media sosial ‘membunuh’ banyak orang karena membiarkan hoaks terkait vaksin Covid-19.
Sekretaris Gedung Putih bagian pers Jen Psaki menyebutkan, ada 12 orang yang bertanggung jawab atas hampir 65% misinformasi anti-vaksin di platform media sosial. Temuan ini dilaporkan pada Mei oleh Center for Countering Digital Hate yang berbasis di Washington dan London, tetapi Facebook membantah metodologi tersebut.