Kominfo Kaji Dampak Putusan MA Batalkan Pasal Sewa Slot ke TV Digital
Mahkamah Agung (MA) membatalkan pasal sewa slot multipleksing. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun mengkaji dampak keputusan ini terhadap program migrasi dari TV analog ke TV digital alias Analog Switch Off (ASO).
Pasal yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung yakni Pasal 81 ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46/2021 tentang Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran.
Pasal tersebut berbunyi ‘Lembaga Penyiaran Publik (LPP), Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), dan/atau Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) menyediakan layanan program siaran dengan menyewa slot multipleksing kepada penyelenggara multipleksing’.
Mahkamah Agung menilai, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 60A Undang-undang (UU) Penyiaran jo. Pasal 72 angka 8 UU Cipta Kerja. Oleh karena itu, LPP, LPS dan LPK tidak wajib menyewa slot multipleksing kepada penyelenggara multipleksing untuk menyediakan layanan program siaran.
“Kebijakan tersebut bukan berarti bahwa implementasi migrasi TV digital dibatalkan oleh Kominfo,” kata kementerian dalam keterangan pers, Kamis (11/8). ASO akan tetap berjalan dan ditarget selesai pada 2 November.
Kominfo telah menggelar migrasi ke TV digital tahap pertama pada akhir April (30/4). Tahap kedua dijadwalkan akhir bulan ini.
Kementerian belum menerima salinan Putusan Mahkamah Agung terhadap uji materiil Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (PP 46/2021).
“Kominfo masih menunggu disampaikannya salinan putusan dimaksud oleh Mahkamah Agung. Hingga saat ini, masih mengkaji berdasarkan informasi dari pemberitaan,” ujar kementerian.
“Kajian komprehensif baru dapat dilakukan setelah diterimanya salinan putusan, termasuk langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Kominfo sebagai dampak dari putusan MA tersebut,” katanya.
Sebelumnya, PT Lombok Nuansa Televisi (Lombok TV) meminta pemerintah mematuhi keputusan Mahkamah Agung terkait pembatalan Pasal 81 ayat 1 PP Nomor 46 tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran.
"Kami berharap Kominfo tidak membuat hal-hal yang bersifat inkonstitutional seperti menerbitkan PP baru yang materi muatannya sama," kata Kuasa hukum PT Lombok Nuansa Televisi Gede Aditya Pratama melalui siaran pers, dikutip dari Antara, Sabtu (6/8).
Dia juga meminta Kominfo menghentikan proses migrasi dari TV analog ke TV digital di seluruh Indonesia terhadap lembaga penyiaran yang telah memiliki Ijin Penyelenggaraan Penyiaran.
Menurutnya, itu sesuai amanah UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran Juncto UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
"Kami berharap, pengaturan penyelenggaraan multipleksing, jika diatur dalam UU, dapat memperhatikan dan tidak diskriminatif terhadap penyelenggara penyiaran televisi lokal," ujarnya.
Direktur Lombok TV Yogi Hadi Ismanto menambahkan, sebagai televisi lokal, perusahaan memiliki infrastruktur pertelevisian lengkap. Lombok TV pun sudah memiliki siaran analog dan digital.
Namun dengan adanya penerapan ASO, perusahaan harus melepas izin TV analog yang diperoleh setelah 10 tahun untuk dapat menyediakan siaran TV digital.
Sedangkan salah satu infrastruktur penting dalam proses migrasi ke TV digital yakni perangkat multipleksing (MUX).
"Izin penyelenggaraan penyiaran dan alat-alat dibeli dengan harga mahal. Untuk biaya pemancar mencapai Rp 500 juta. Setelah lima tahun mendapat izin, kami belum balik modal. Tetapi, tiba-tiba harus menumpang ke orang," ujar Yogi.
Untuk menyewa slot multipleksing TVRI di Lombok, perusahaan harus mengeluarkan modal Rp 15 juta per bulan. Jika menyewa kepada MetroTV, nilainya mencapai Rp 30 juta.
"Tiba-tiba slot ini sudah penuh dan tidak ada jaminan harganya stabil di harga tersebut. Tahun depan, bisa saja harganya naik menjadi Rp 100 juta per bulan," kata dia.
Selain itu, ia bingung jika harus membuang infrastruktur yang dimiliki lantaran wajib menyewa slot multipleksing.
"Pelaksanaan ASO akan inkonstitusional kalau dipaksakan. Toh pemerintah belum siap. Prosesnya harus dihentikan," katanya.