Lumbung Pangan Dikritik Belum Berbasis Kajian Ilmu Pengetahuan

Rizky Alika
13 Juli 2020, 20:48
Pengamat Nilai Lumbung Pangan Belum Berbasis Kajian Ilmu Pengetahuan.
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.
Presiden Joko Widodo meninjau lahan yang akan dijadikan "Food Estate" atau lumbung pangan baru di Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). Pengamat menilai pengembanga lumbung pangan di bekas area gambut belum sesuai kajian ilmiah.

Pemerintah tengah membangun lumbung pangan (food estate) sebagai cadangan pangan nasional di Kalimantan Tengah. Namun, Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas menilai kebijakan tersebut belum berbasis kajian ilmu pengetahuan.

"Yang penting, semua kebijakan berbasis science atau kajian ilmiah. Bukan hanya sekadar semangat saja, pasti gagal. Saat ini, kebijakannya sama sekali belum berbasis science," kata dia saat dihubungi Katadata, Senin (13/7).

Terkait hal ini, pihaknya telah memberikan masukan dan sejumlah kajian pengetahuan kepada pemerintah. Pasalnya, penggunaan lahan di bekas Proyek Lahan Gambut (PLG) memerlukan kajian yang hati-hati.

Bila strategi pengembangan lumbung pangan tidak berbeda dari era sebelumnya, ia memperkirakan proyek tersebut bakal sulit berhasil dan hanya menghabiskan biaya.

(Baca: Narasi Berulang Proyek Lumbung Pangan)

Dwi mengatakan, pemerintah harus memerhatikan empat syarat sebelum membuka lahan  pangan. Keempat persyaratan tersebut harus dijalankan bila tidak ingin kegagalan food estate kembali terulang.

Namun, belum juga proyek itu dimulai, dia menilai, pemerintah telah mengabaikan salah satu persyaratan utama yaitu mengenai kelayakan agro-climate atau memperhatikan kecocokan tanah.

"Lahan pertanian tidak cocok di gambut. Itu baru satu persyaratan dilanggar," ujar dia.

Persyaratan lain dalam pembukaan lahan yaitu wajib memastikan kelayakan infrastruktur yang dibangun. Adapun syarat infrastruktur tersebut meliputi irigasi hingga transportasi angkut hasil pertanian.

Selanjutnya, pembukaan lahan harus memerhatikan kelayakan teknologi dan budidaya setempat. Sebagai contoh, penggunaan pupuk dipastikan sesuai dengan wilayah tersebut.

Kemudian pemerintah harus memerhatikan ketersediaan alat mesin pertanian (alsintan) dan memiliki sistem pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Sebab, pengganggu tanaman dinilai dapat menghabiskan produksi dalam sekejap.

Terakhir, pembukaan lahan perlu memerhatikan kondisi sosial dan ekonomi setempat, seperti masalah kepemilikan lahan, masalah agraria hingga isu sosial ekonomi lainnya. "Kalau produksi hanya 3-4 ton per hektare, tidak layak secara ekonomi jadi tidak sejahterahkan petani. Petani bisa lari, kerja di tempat lain," ujar dia.

Sementara itu, Pengamat Pertanian yang juga Ketua Harian DPD Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat, Entang Sastraatmaja mengatakan, program food estate tersebut sudah sangat baik. Namun, pemerintah harus memiliki perencanaan yang matang dan berkualitas.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika
Editor: Ekarina
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...