Krisis TKA selama Covid, Produsen Sawit Malaysia Rekrut Pekerja Lokal
Produsen minyak sawit Malaysia memulai perekrutan tenaga kerja lokal dan mempercepat sistem mekanisasi industri. Langkah ini untuk memutus ketergantungan mereka terhadap tenaga kerja asing (TKA) perkebunan yang jumlahnya terus menyusut selama pandemi corona.
Menjelang puncak produksi September-November, sejumlah perusahaan memasang spanduk di dekat perkebunan serta iklan pekerjaan online yang menawarkan perumahan gratis, air gratis, dan fasilitas kehidupan perkebunan lainnya. Upaya ini dilakukan untuk memikat pekerja setempat agar mau melakukan segala hal mulai dari mengemudi traktor hingga memanen hasil kebun.
Pembatasan perjalanan dan pergerakkan warga membuat Malaysia menghadapi dilema kekurangan tenaga kerja, yang selama ini didominasi pekerja migran.
Sebelumnya, negara produsen sawit terbesar kedua dunia itu diperkirakan kekurangan 37.000 pekerja sawit, hampir 10% dari total tenaga kerja. Namun, Asosiasi Minyak Sawit Malaysia (MPOA) meramal angka ini bisa meledak hingga 70.000 pekerja begitu akses perbatasan kembali dibuka.
“Ini adalah pertama kalinya kami melakukan upaya besar untuk mempekerjakan masyarakat Malaysia, tetapi ini juga pertama kalinya kami menghadapi Covid-19,” Imran, seorang manajer perkebunan di Sime Darby Plantation dikutip dari Reuters.
Industri khawatir krisis tenaga kerja akan mengganggu produksi minyak sawit tahun ini. Pasalnya, bila ini dibiarkan buah hasil panen terancam busuk hingga memberikan keunggulan kepada pesaing terbesarnya yakni Indonesia yang tidak memiliki masalah tenaga kerja.
Apalagi menurut analis, biaya produksi rata-rata Malaysia sedikit lebih tinggi atau sekitar US$ 406- US$ 480 per ton, dibandingkan dengan Indonesia yang masih US$ 400- US$ 450 per ton.
Negara-negara seperti Indonesia dan Bangladesh menyediakan hampir 85% pekerja perkebunan untuk perusahaan kelapa sawit seperti Sime Darby, IOI Corp dan United Plantations di Negeri Jiran.
Mempekerjakan warga lokal sebetulnta bisa membuat Malaysia lebih menghemat biaya perekrutan dan biaya asing seperti transportasi. Namun, beberapa warga lokal masih memiliki kekhawatiran dan beranggapan bahwa pekerja sektor kotor dan berbahaya. Sehingga mereka enggan menerima pekerjaan tersebut.
“Mungkin saja merekrut lebih banyak penduduk lokal dapat menurunkan biaya produksi, tetapi dengan syarat penduduk setempat ini juga seproduktif mereka (pekerja migran),” kata ketua eksekutif MPOA Nageeb Wahab.
Meski tingkat pengangguran meningkat, Imran mengatakan sebagian besar minat masyarakat pada hari perekrutan adalah tugas umum, seperti sopir atau mekanik, dibandingkan tugas bidang perpajakan dan panen.
Dengan lebih banyak pekerja migran yang keluar, beberapa perusahaan kecil yang kekurangan staf, yang kurang mampu mempertahankan tenaga kerja migran, terpaksa memburu pekerja dari pesaing.
“Ini buruk, tapi saya harus melakukan ini untuk bertahan hidup,” kata seorang pejabat perkebunan menengah di Sarawak yang menolak disebutkan namanya.